Widget by Blogger Buster

Linux Jatirogo

Selamat datang di Sahabat DW. Sebuah blog berisi tulisan amatir seorang siswa dan penggila Open SOurce Software

Sahabat DW

Kenanglah, karena kenangan terciptu untuk dikenang. Sebuah kenangan akan sangat berarti jika dapat merasakan makna dari kenagan yang terkenang itu

Sahabat DW

Andaikan pengalaman dijual di toko-toko tentu pengalaman akan mudah didapatkan, dan tentunya di dunia ini nggak ada orang yg nggak berpengalaman.

Sahabat DW

Sebuah jejak akan hadir setelah kita memilih untuk melakukan sesuatu, baik buruk jejak tergantung pilihan kita

Sahabat DW

Jangan ragu untuk melangkah, karena takdir dan mimpi tidak pernah salah, mereka berjalan di jalan yang memang seharusnya. Mari abadikan semua ada pada kita dengan menulisnya

30 Aug 2011

Bayang Rindu


Bayang Rindu

Bias langit khas senja sudah mulai hilang dari pandanganku, sedang kaki yang semakin menua ini masih enggan untuk turun dari atap rumah tua yang sudah tak terlalu jelas bentuknya, perpaduan aroma khas tanah guyuran hujan masih jelas menari-nari di lubang hidung yang memang tak mancung ini, seakan mengajak tubuh bungkuk ini untuk kembali berlari lapangan yang tak pernah terkenal, namun sayang lagi-lagi kaki ini masih enggan untuk melangkah.
Dalam dingin aku masih termangu dan membisu dalam beku, mata yang sejak tadi mengamati sekitar seakan menahan aliran sungai dari mata yang memaksa ingin mengalir, perlahan sisa hati kecil dalam perasaanku mulai terasa tercekik, melihat sebuah kenistaan dan pencurian yang telah terjadi di depan mataku, aku menjadi merasa menyesal ketika tersadar bahwa korban dari tindakan itu adalah aku dan orang-orang di sekitarku.
Di tempat ini delapan belas tahun lalu adalah “kandang”ku, ya. . . aku memang tinggal di tempat ini. Sebuah desa dengan rimbunnya rumput dan pohon yang masih erat dengan tradisi dan adat. Sebuah tempat yang dulu selalu menjadi kebanggaanku, tempat yang yang menjadi saksi bisu masa kecilku di pangkuan ibu.
Rumah dari kayu tepi sungai itu adalah bekas rumahku, rumah ini merupakan hasil kerja keras ayahku sebelum akhirnya beliau meninggalkan kami, bale bambu di pojok teras adalah kenangan terakhirku bersamanya. Di bale bambu buah tangan bapakku itulah aku dilahirkan, meski sekarang sudah reyot namun puingpuing kenangan itu masih tergambar jelas dalam goresan-goresan pada tiap ruas. Tepat di samping bale masih nampak sisa-sisa kandang kelinci pamanku yang seumur hidupnya hanya beranak sekali, karena setelah itu kelinci putih itu harus mengikhlaskan dagingnya untuk menyambug nyawa keluargaku saat tak ada lagi yang bisa kami lahap.

***

Masih bisa ku ingat dengan jelas, bekas langkah kaki-kaki kecil yang pernah menapaki taah milik Pak Karta yang lebih sering kami sebut sebagai lapangan. Di tempat dengan rumput yang makin hari makin menghijau ini aku dan kawanku sering menghabiskan waktu dengan aneka permainan yang membuat kami menjadi semakin akrab. Meski samar, aku masih bisa sedikit mengingat wajah Iyon dengan alisnya yang unik, Sloreng dengan rambut jambul yang sebenarnya tidak terlalu bagus namun selalu membuatnya percaya diri, Udin dengan guyonan humornya yang kadang tak lucu sehingga terkadang tawa yang keluar adalah tawa terpaksa serta dengan rambut panjang yang selalu membuatnya tampak selalu cantik terlebih jika tersenyum, tak lain adalah Nining.
Kejadian di penghujung bulan membuat bibirku sedikit tersungging malu, di saat kami tengah kepergok menebang pohn pisang milik Pak Ahmad sehingga kami terpaksa harus berlari karena meliat beliau mengacungkan penjalin yang sepertinya akan mendarat di tubuh-tubuh kecil kami. Sial, meski sudah berlari tetap saja kami terpaksa merasakan cambukan penjalin dari Pak Ahmad, meski demikian pohon pisang sudah di tangan, rencana kami untuk membuatnya menjadi mainan tetap berlanjut, karena cambukan itu membuat kami merasa harus berusaha untuk menjadi pencuri yang lebih pandai lagi.

***

Tak terasa pipi ini sudah basah dengan aliran air mata yang entah kapan datangnya, sambaran burung kecil yang hampir saja menabrak mukaku membuatku sadar dari lamunan masa laluku. Tersadar dari lamunan membuatku malah semakin kecewa, karena harus menyaksikan tanah tempatku berpijak dulu kini sudah menjadi gedung-gedung yang entah memiliki berapa lantai, sungai yang dulu kaya dengan ikan dan kejernihan air kini sudah tak sanggup aku sebut sebagai sungai lagi, anak-anakku mungkin akan menyebutnya tempat sampah berair. Suara bising kendaraan seakan ingin melenyapkan suara tangisan dan tawa bayi, suarakupun lenyap dalam kebisingan mesin-mesin itu. Kini aku tak dapat melihat cerahnya langit, karena gerombolan asap sudah berhasil menutupi keindahan langitku. Aku ingin berteriak, berteriak karena aku merasa semua ini akan menghapus semua jejak orang yang pernah hidup dan tinggal di sini.

***

Makin terbelalak mataku saat teringat dan sadar akan harga mainan jaman ini, semua mainan-mainanku yang dulu telah hilang, mainan dengan tawa bersama pemain-pemainnya. Minta ampuuuuun harga mainan saat ini, bahkan harganya ada yang melebihi gaji para mentri. Membuatku jadi sulit membedakan, mana mainan mana sungguhan, semua mahal. Demi sebuah gengsi seorang bapak rela meminum keringatnya sendiri untuk membelikan anaknya mainan. Plastik jadi sampah dimana-mana, dalam hatiku bertanya lagi, “Mana mainan-mainanku yang dulu” mana tawa ceria anak-anak pencuri mangga? Apakah sekarang sudah tak ada lagi mangga untuk di curi? Atau suara mereka tertutupi dengan pencuri berdasi yang kini punya pohon kebun mangga lebih luas? Bumi dan langitku jadi saksi semua ini, entah sampai kapan mereka mau menyaksikan ini, mungkin sampai esok, atau bahkan hanya sampai hari ini.

Powered By Blogger

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More