Widget by Blogger Buster

Linux Jatirogo

Selamat datang di Sahabat DW. Sebuah blog berisi tulisan amatir seorang siswa dan penggila Open SOurce Software

Sahabat DW

Kenanglah, karena kenangan terciptu untuk dikenang. Sebuah kenangan akan sangat berarti jika dapat merasakan makna dari kenagan yang terkenang itu

Sahabat DW

Andaikan pengalaman dijual di toko-toko tentu pengalaman akan mudah didapatkan, dan tentunya di dunia ini nggak ada orang yg nggak berpengalaman.

Sahabat DW

Sebuah jejak akan hadir setelah kita memilih untuk melakukan sesuatu, baik buruk jejak tergantung pilihan kita

Sahabat DW

Jangan ragu untuk melangkah, karena takdir dan mimpi tidak pernah salah, mereka berjalan di jalan yang memang seharusnya. Mari abadikan semua ada pada kita dengan menulisnya

23 Dec 2011

APSAS Part 3


Satu kisah lagi yang asih berhubungan dengan kegiatan APSAS, khususnya pengalaman bersama Bu Endah soal monolog. Dalam acara APSAS Nopember lalau harusnya selain sebagai tukang ngatur musik, aku juga tampil membawakan monolog yang berjudul “Racun Tembakau”, namun karena banyak kendala, sehingga harus dibtalkan.
Awalnya monolog ini akan dibawakan oleh Pak Miun, namun karena “ke rese-annya” ia mengompori Bu Endah agar menunjukku menampilkan monolog itu. Pikirku, sebenarnya nggak masalah sih, asal yang melatih Bu Endah. Paling tidak aku akan belajar bagaiman monolog itu.
Jadwal tayang yang makin sempit, sedang aku belum benar-benar menguasai naskah 8 lembar itu. Satu hal yang sempat membuatku jengkel adalah ketika aku mencoba marah tapi malah membuat orang tertawa dengan mimikku ini.Hingga pada hari H, ekspresi itu masih sulit kudapatkan sehingga apa boleh buat ilmu nekat tampil harus diasah. Tapi jujur saja jelang hari H aku agak pontang-panting saat beberapa persiapan belum benar-benar siap termasuk hal panggung, sehingga badan agak lemas saat itu. Hujan saat itu juga menjadi salah satu faktor aku tidak jadi tampil. Mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk seorang yang tak punya ekspresi

APSAS Part 2


Semenjak apresiasi November lalu, tampaknya sekolah lain mulai melirik kemampuan anak-anak yang kemarin baru saja menampilkan karyanya. Terbukti, beberapa waktu kemudian ada tawaran untuk tampil dan mengapresiasi dengan anak-anak SMA. Memang saat itu banyak kendala, ya aku ingat betul jadwal kegiatan jadi korban karena harus ditunda sampai beberapa kali. Namun pada akhirnya, tanggal 8 Januari 2011, Di Ruang kesenian SMP 1 Jatirogo meraung suara sastrawan dan sastrawati, tak ketinggalan saat acara itu ditengah-tengah kami hadir seorang sastrawan Bojonegoro yang entah siapa namanya <lupa>. Yang jelas ia melakukan monolog yang wow. . .membuat atmosfir ruangan jadi panas.
SMP 1 snediri hanya mengeluarkan satu darama dengan judul “Hilangnya Happy Ending Story Maker”, sedang SMA menampilkan 2 karya yakni monolog dan drama pantomim. Puncak acara ditutup dengan acara diskusi.
“Hidup ini simpel, sesimpel saat kita dilahirkan. . . “ Monolog Pencuri Cabai,

APSAS Part 1


Salah satu kenangan yang masih mendekan di waktu SMP adalah ketika Apresiasi Seni dan Sastra, dimana saat itu akulah yang jadi ketua penitia. Saat itu aku kelas IX-F, kelas yang selalu aktif dalam banyak kegiatan dan selalu menjalin kebersamaan sekalipun kadang tidak berhasil.
Kegiatan APSAS ini merupakan tradisi kelas “F” tipa tahunnya yang tak boleh dilewatkan. Yang aku ingat saat itu adalah bulan Nopember, bulan yang jadi puncak kesibukan mengatur banyak hal mulai dari stting panggung, lampu, persiapan untuk drama dll. Jujur saja aku sempat dibuat bingung saat berhadapan dengan masalah dana, karena dalam hal ini sekolah tidak membantu, semboyan “sekolah masih kaya” sempat dipatahkan oleh Bu Endah, karena sejatinya kegiatan ini memang murni milik siswa. Pada hari kenangan itu, banyak karya yang tampil, termasuk 2 drama dari kelas IX, dan dua drama dari adik kelasku. Sayang malam itu turun hujan yang sempat mempause acara sejenak.
Kau harus tahu, “Ini apresiasi seni BUKAN pentas seni. Ingat itu!” Pak Dadija Oetama

UNIQ


Ini kisah ketika aku baru bisa bilang “R” dengan jelas dan fasih, entah di usia berapa aku saat itu, yang pasti aku masih ingat di tangan kiriku ada 3 benjolan yang berisi air, dan jika pecah akan kembali utuh lagi. Aku sudah berobat ke dokter, tapi naas penyakit “dompo” itu masih saja menempel di lenganku, hingga tetanggaku menyarankan untuk meminta bantuan duda beranak satu. Wal-hasil esoknya aku dibawa kerumah orang tersebut dengan membawa cikalan dan gula merah. Awalnya k pikir untuk apa, eh taunya dua barang tadi digunakan untuk dikunyah dan brush. . Disemburkan ke lenganku. Sumprit bau banget. . .mana orang itu bilang jangan dilap lagi. . .tapi الحمد لله esoknya langsung sembuh.
Beda lagi saat aku sakit cacar dan tak kunjung sembuh, inuku entah saran siapa memandikan aku dengan rinso, brr anget sih. . .
atau saat tangan kananku tak bisa ditekuk akibat jatuh saat belajar sepeda onthel. Teman ayahku kemudian mengoleskan minyak bulus dengan bau yang buff mulek-mulek ke sikuku, dan alhamdulillah sorenya langsung sembuh.
he. . he. . .mungkin sebenarnya ada banyak, tapi kapan-kapan aja dah.

Penghargaan?


Penghargaan, penting? Aku pikir itu penting selama itu tidak menjadi tujuan utama seseorang. Suatu kenangan soal penghargaan terjadi semasa aku masih SMP. Masa itu, adalah puncak dari kegiatan pameran lukisan dalam rangka ujian praktek kensenian. Aku ingat betul, betapa kompaknya kelas bersaing, saat itu kelasku memang sederhana dengan jarik yang tertata rapi mengahalangi cahaya yang menerobos lewat jendela, satu hal yang membuat kelas kami istimewa yakni hasil karya kami berupa katalog yang tidak bisa ditiru oleh kelas lain. Rumahku adalah pabrik saat itu. Banyak hal berkesan di waktu yang singkat itu, termasuk saat mengatur kelas, aupun ketika sambutan wali kelas di puncak acara, di saat yang berbahagia itu, satu lukisan jadi sebuah kenangan dan kado ulang tahun untuk pria berkumis yang menjadi bapak kami selama beberapa tahun.
Kebali kebahasan awal, Pak Dadija dalam sambutannya sempat berkata “......memberi penghargaan sekarang menjadi sesuatu yang sulit dilakukan oleh bangsa ini,...” dan ini “.....terkadang penghargaan memang penting, dan itu dapat dimulai dari hal-hal semacam ini, memang sepele kelihatannya tapi nanti lihat pengaruhnya.......” kesimpulannya. . .yupz. . Ada di benak kalian.

22 Dec 2011

Kebanggaan?


Entah hari apa itu, yang jelas dalam foto itu aku mengenakan seragam pramuka bersama temanku saat kejadian ini berlangsung.
Siang yang belum muncul diawali dengan guyuran air dari langit yang entah berapa butir yang membuat basah roda sepeda dan jalan yang saat itu baru saja diaspal. Pagi yang tak cerah itu, aku dan Frans mengayuh sepeda onthel yang kami anggap “keren” menuju ke SMA 1 Jatirogo, dengan tujuan mewakili SMP untuk ikut lomba blog di SMA dalam rangka ulang tahun sekolah yang berlokasi di Bader. <short story>
Awalnya ku pikir yang akan ikut lomba tersebut adalah semua sekolah di kota ini, eh taunya. . . . .yang ikut cuma 3 sekolah, dan juaranya 1-3 = bohong
last story, aku dan Frans memang pulang denga membawa piala juara pertama, teman-teman yang lihat tampaknya punya anggapan kami seorang blogger yg hebat karena yang merekatahu kami berlomba dengan banyak sekolah. Wkwkwkwk . . .jujur saja aku merasa seperti melakukan pembohongan pada temanku. (Kalo dulu ketahuan paling sudah buah ini muka jauh-jauh)

Someone?


Tokoh spesial selalu ada dalam hidupku, baik tokoh idola atau tokoh yang lebih dekat dari seorang idola. Bahkan dalam hidupku banyak tkh yang benar-benar aku idolakan. Saat aku ditimangan, ibuku adalah idola ertaaku, ketika malam ayah adalah idola dalam pelukanku, saat usiaku 5 tahun idlaku adalah mbak berambut panjang yang selalu menjadi temanku, saat aku di tanah orang yang kini telah pergi adalah idola baruku. Saat aku duduk di bangku SD kelas 4 rasul-Nya yang terakhir adalah idolaku, saat aku SMP seseorang dengan senyuman dari wajah dengan balutan jilbab yang tampak anggun juga jadi idolaku, juga dengan pria berkumis tebal yang selalu membuatku berinspirasi. Banyak lagi tokoh ekstern yang jadi idolaku yang kini berpengaruh dalam karakterku baik sedikit atau mungkin secara garis besar. Yang perlu kau ketahui, sekalipun aku banyak idola, aku tak pernah melupakan idola-idola lain karena mereka memang ada dalam karakterku.
Mungkin.

Subtitusi Preman


Ini sebuah kenangan dari teman yang pernah duduk sebangku denganku saat kelas VIII tempo dulu.
Andreas Vernando Setiawan, laki-laki bertubuh atletis dengan kulit putih serta otak quad core menjadi sifat yang tersimpan dalam sikap diamnya Mungkin baginya diam adalah belajar, dan aku rasa pandangan hidupnya adalah semua hal dapat dihitung dengan pasti. Ia memang jarang berinteraksi, paling-paling berinteraksi kalo soal “curi” jawaban, itupun tidak sering.
Sulit memang jika ditulis bagaimana wataknya serta kesehariannya, yang pasti ia pernah mendapat gelar “preman” dari diamnya itu Mungkin ia sedikit bangga dengan gelar itu, karena semenjak saat itu ia jadi sering terlambat berangkat sekolah, andai kau tahu dirinya aku takkan sulit menceritakan hal ini padamu betapa santai anak satu ini.
Ia juga adalah seorang “tukang” paku saat kegiatan pameran seni rupa diakhir semester dulu.
Kenangan ini akan menarik jika kau pernah berjumpa dengannya, karena kenangan milik jiwa-jiwa yang terkenang

Bekas Surga


Apakah surga berbekas? Jika itu adalh surga kita, maka jawabannya “Ya”. Karena bekas adalah implementasi dari sisa, rusak, dan sifat-sifat cacat dari sesuatu yang pernah dipakai.
Kita dulu pernah mimiliki tempat yang kita anggap sebagi surga, semua orang punya surga. Suraga kami adalah lingkunga sekitar rumah kami dengan hamparan rumputnya yang luas dan selalu menghijau di akhir pekan, surga dengan hembusan angin sejuk yang membuat daun-daun menari dan pohon-pohon bergoyang. Surga dengan sawah yang jika sudah dipanen akan menjadi tempat ikan dimana ikan itu menjadi santapan kami dan sawah itu menjadi tempat tertawa riang bersatu.
Kini semua jadi barang bekas, karena pondasi rumah-rumah yang baru dibangun menutupi bahkan menghapus mereka, rumah-rumah yang membuat nafas semakin sesak, yang membuat surga kami hanya jadi sebuah kenangan untuk hari ini.

Srigala Kecilku


Seperti yang pernah ku tulis “Setiap Jiwa Punya Srigala”, begitupun dengan diriku, kerana aku juga punya jiwa. >_< Sekalipun saat itu masih kecil tapi aku rasa srigala dalam diriku sudah sering hadir, bahkan menguasaiku.
Suatu ketika, saat setelah beberapa minggu aku mendapat title kakak, rasa cemburu pada adikku mulai muncul. Kau tahu semenjak saat itu aku menjadi pisau yang selalu dijauhkan oleh ibuku dari adikku. Aku tahu mereka sayang juga padaku, namun sayang itu terlambat karena aku sadar akan hal itu setelah usiaku +7 tahun, dan sungguh sial aku terlanjur meletuskan kecemburuanku itu.
Suatu sore di bawah lampu putih panjang, tanpa sadar aku raih tangan kiri adikku, dan kau tahu apa yang terjadi? Srigala itu menggigit tangan mungil tek berdosa itu. Hey! Bukan aku yang melakukan, tapi sial memang mulutku yang saat itu menempel di tangan kirinya.
Jeritan tangis bayi kecil dengan popok dan baju berenda membuat dua tamparan mendarat di kedua pipiku, dan aku tahu suara tangisanku saat itu ternya la lebih tinggi dari adikku, tak ada yang menolongku saat itu, semua memeluk adikku. Mungkin mereka tahu aku tak seharusnya seperti itu, atau mungkin mereka menghukumku dan membiarkan aku dipelukan srigala.

Berubah!


Hmm . . . lucu juga jika ingat di waktu kecilku begitu terobsesi dengan film-film fantasi seperti “Power Ranger”, “Kamen Rider”, “Kabutaku”, “Doraemon” (bahkan yang ini masih terbawa hingga kini, dan masih banyak lagi film-film lain yang membuat otak seolah-olah ingin bisa bahkan menyamai apa yang aku lihat saat itu.
Satu hal yang paling berkesan yakni saat yang aku lihat aku bayangkan jadi latar dalam film power ranger, al-hasil. . he. .he . . jadi berlaga sok pahlawan dengan atribut seadanya sebagai senjata. Namanya juga anak-anak.
Khayalan dari seorang anak jauh dari sebuah bahkan jutaan batas. Dulu aku menganggap hidup itu sesimpel mengeluarkan alat dari kantong doraemon jika menghadapi masalah, namun kenyataannya hidup serumit teka-teki dalam kartun faforitku, Detektive Conan. Bagaimana dengan hidupmu?

Jendela Jeruji


Kenangan menarik saat aku masih duduk di bangku TK dengan seragam polisi yang membuatku selalu percaya diri sekalipun saat itu akumasih cengeng, bahkan tinggiku tak melebihi tinggi kursi tempatku duduk sekarang.
Aku ingat betul saat itu tepat di belakang rumahku yang kini di tempati pamanku, masih beroprasi kereta api dengan beberapa gerbong yang turut berjama'ah di belakang lokomotifnya.
Seumur hidup (hingga kini, kan aku belum mati) aling tidak aku pernah menaiki kereta api tersebut sebelum berhenti beroperasi karena suatu hal yang aku sendiri tak tahu.
Sepulang sekolah, waktu itu aku sedang asik bermain ala anak TK dengan sepupuku, Mbak Ima. Di tengah asiknya permainan terdengar suara kereta api yang hendak beranjak dari stasiun, dengan buru-buru kami berdua memasukkan kepala kami ke jendela dengan jeruji yang berbaris horisontal demi melihat kereta.
Kepala kami masuk bersamaan, namun sial teori kecil kami yang mengatakan “sesuatu yang masuk pasti bisa keluar” terpatahkan begitu saja, karena kepala kami berdua terjepit dan sialnya tak ada orang di rumah saat itu, jadi hingga sore hari itu kepala kami terperangkap, wal-hasil, jendela harus jadi korban. '-'

Adaptasi


Aku jadi lebih percaya denga adaptasi jauh sebelum hal itu dijelaskan di bangku kelas 4 SD dulu, karena aku sendiri memang mengalaminya dalam kehidupanku, bahkan sebelum aku pandai menulias a. . . .b. . .c. . .
Witting tresna jalaran saka kulina, sip. Itulah yang aku maksud. Semasa kecil aku adalah anak yang tidak suka mendengar suara yang kerasnya melebihi suaraku, karena aku menganggak itu adalah suara seseorang yang memarahiku. Tak terkecuali dengan suara tape yang kau tahu tak mungkin pelan, namun lama waktu mengalir telinga ini malah jadi terbiasa mendengar suara genjrengan dan vokal Iwan Fals yang tiap hari tak pernah absen bernyanyi dalam radio, begitu juga dengan suara band Koes Plus dan Peterpan.
Entah mengapa, mungkin karena memang terbiasa aku jadi hafal lagu-lagu mereka, bahkan hingga hari ini, dan entah mengapa pula aku belum merasa bosan dengan suara mereka.
Mungkin pada hakikinya benar, kau hanya perlu mengetahuinya sekali kemudian menyukainya sehingga kau mudah mengingatnya dan saat itulah kau sedang merasakan cinta.

Mata Kecil


memori pertamaku saat itu mungkin sudah sangat berfungsi, saat aku masih sering digendong oleh orang yang sering aku panggil “ibu”. Aku ingat saat malam aku kecil selalu membangunkan ayahku dari lelapnya malam untuk menuruti keinginanku mencari buah mangga yang terjatuh dari pohonnya alias “codotan”. Aku ingat betul saat itu warga dusunku masih sangat rukun mudah mengikhlaskan sesuatu termasuk buah yang jatuh tadi, dan apakah kau tahu apa yang dilakukan ayahku jika malam itu tak ada codotan? Ayahku menggendongku kemudian mengajakku ke garu/os ronda lalu memintakan cemilan mereka untukku. Munkinakah itu masih bisa terjadi saat ini?
Drum/tong air dari besi juga jadi saksi masa kecilku yang nakal, drum dengan air yang tak pernah hangat itu menjadi alat hukuman untukku. Kau tahu, aku selalu dimaukkan ke dalamnya jika sikapku dianggap sudah kelewatan oleh orang tuaku. Kau perlu tahu aku sangat rindu masa-masu itu.
Aku kecil sekarang ada dalam sanubariku, menjadi kenangan dan terkadang jadi lamunan saar matahari hampir tenggelam.

21 Dec 2011

Saridin


“Saridin” Tokoh Inspirasi Baru

Akhir dari minggu pertamaku belajar di YPRU aku sudah mulai terbiasa dengan sibuknya kegiatan di pondok pesantren Roudlotul “Ulum ini. Di sisa siang yang cukup cerah itu aku sedang asik mendengar dongengan dari kyaiku tentang murid Sunan Kalijaga bernama Saridin (Syeh Jangkung). Dalam dongengan Kyai Abing, aku cukup banyak menangkap banyak hal dan aku bisa menganggap bahwa tokoh Saridin adalah penggambaran orang yang suka mencari sensasi.
Saridin itu sebenarnya adalah orang yah, bisa dibilang sakti dan berilmu tinggi, karena dia pernah menjadi murid Sunan Kalijaga. Pada suatu masa dikisahkan Saridin bahwa Saridin dan keluarganya adalah termasuk golongan orang miskin, sedangkan kakak kandungnya telah dipersunting oleh orang kaya. Suatu hari Saridin berniat ingin meminjam uang kepada kakaknya untuk makan anak istrinya.
Saridin : Mbak, aku nyilih duwite yo . . .kanggo yambung nyawane anak bojoku.
Mbak : Wah Din, sepurane yo iki kabeh bandane bojoku aku gag wani nek langsung jupuk tanpa ijin dhipik. Entenana dhipik nganthi bojoku rawuh.
Akhirnya datanglah si suami dari kakaknya Saridin, kemudian kakaknya Saridin menceritakn semua yang telah dikatakan Saridin tadi.
Suami : Owalah Din. . .din. . . .gak perlu nyilih, ngene wae aku duwe kebun duren jagakna, nek menawa durene ning kebonku ceblok wayah awan iku jatahku, nek wayah wengi iku artine durenmu, piye?
Saridin : Wah, matur nuwun kang. Nek mengkono aku tak mangkat dhipik.
Pada malam harinya Saridin mulai melakukan pekerjaan barunya, menunggu durian jatuh. Akhirnya pada suatu waktu dia mendengar suara durian jatuh, namun sayang saat asal suara itu dekati tidak ada satu durianpun di tanah yang jatuh, kejadian itu berulang berkali-kali hingga membuatnya jengkel. Akhirnya pada suara duren jatuh yang kesekian kalinya ia melihat sesosok macan yang mengambil duriannya, akhirnya iapun menombak macan itu hingga mati. Saat macan itu didekati Saridin kaget bukan main karena saat kulit macan itu dipegang ternyata kulit itu menjadi jubah, dan macan tadi berubah menjadi kakak ipar Saridin. Karena takut akhirnya Saridin memutuskan untuk pergi ke pengadilan pati namun ia membawa mayat kakaknya tadi dengan diselimuti jubah sehingga kakak iparnya kembali jadi macan.
Hakim : Din, iki sapa Din??
Saridin : Macan pak.
Hakim : Sing mateni sapa Din??
Saridin : Kula pak.
Kemudian macan itu dibukan jubahnya maka tampaklah mayat kakak ipar Saridin. Kemudian Hakim bertanya lagi.
Hakim : Iki sapa Din??
Saridin : Nek niku bojone mbak kula pak
Hakim : Lha sing mateni sapa Din
Saridin : Lha duka pak, mboten kula . . .nek macan sing mateni kula nek niku mboten kula.
Hakim jadi sedikit bingung, sehingga si hakim mengulang pertanyaan-pertanyaan tadi namun jawaban saridin tetap sama. Sehingga hakim memutuskan untuk memenjarakan si Saridin.
Hakim : Yo wis Din, ngene wae amerga awakmu wis jujur, iku dak wenehi hadiah omah lawng siji, ning bojo lan anak-anakmu aja digawa.
Saridin : Inggih.
Setelah beberapa minggu dipenjara terdengar isu bahwa Saridin sering pulang ke rumah menemui istri dan anaknya. Sehingga pada suatu hari hakim bertanya
Hakim : Din, bener sliramu sering mulih?
Saridin : Inggih
Hakim : Loh lha lewat ngendi?
Saridin : nggih medal pintu
Hakim : Lawang? Sapa sing bukak?
Saridin : Dibikakne pengeran.
Karena marah, si hakim akhirnya memutuskan untuk memindahkan Saridin ke sebuah kotak yang tidak berpintu, sebelum itu Saridin berpesan agar kotak tempat tinggalnya kelak jangan sampai ada libangnya, karena nanti kalau hujan takut kebocoran, namun hakim dan anak buahnya tidak menghiraukannya. Hingga pada saat kotak hampir jadi, Saridinpun dimasukkan ke dalamnya, namun saat hendak selesai tiba-tiba saeidin muncul keluar dan ikut memaku kotak tersebuat.
Saridin : iki lo isih bolong, nak kudanan piye?
Prajurit : owalah iyo, wis-wis ndang mlebu maneh.
Kejadian ini terjadi berkali-kali sehingga membuat prajurit kesal dan melapor kepada hakim, akhirnya hakim memutuskan untuk menggantung Saridin. Saat hendak digantung, lag-ilagi Saridin berpesan jika nanti tidak kuat menarik Saridin, makan Saridin siap membantu menarik. Namun lagi-lagi mereka tidak menghiraukan Saridin.
Saat penggantungan tiba, saat henda ditarik, tiba-tiba sosok Saridin ikut menarik tali yang digunakan untuk mengantung dirinya. Hakimpun kembali marah dan akhirnya Saridin diusir dari tanah Pati.
Setelah pengusiran tersebut Saridin lari menuju Kudus, disana ia menemukan sebuah pondok pesantren, akhirnya ia memutuskan untuk tinggal dan belajar disana. Tanpa disangka itu adlah pondok milik sunan kudus.
Suatu hari saat para santri sedang minimba air untuk mengisi kulah (kamar mandi) Saridin mempunyai niat untuk membantu. Namun Saridin tidak mempunyai ember karena ia adalah santri baru.
Saridin : kang aku arep ngewangi ning aku oleh nyilih timbane gak?
Santri : nglurua timbamu dhwe, apa iku lo ngangg kranjang sing bolongane gedhe (sambil menunjuk)
Saridin : o, yo wis sampean ndang ngaso dhipik, tak isine aku dhewe.
Para santripun akhirnya hanya melihat Saridin mengisi keranjang yang mereka pikir mustahil untuk diidi air, karen lubangnyanya sebesar kepala, namun bukan Saridin namanya kalau tidak membuat kaget, dalam sekali timba keranjan tadi langsung terisi air, dan dengan sekali guyur kulah yang tadi kering menjadi langsung penuh. Melihat kejadian ini para santri akhirnya melaporkannya pada sunan kudus, hingga akhirnya Saridin mendapat larangan menggunakan ilmunya.
Pada suatu tempo saat makan bersama, Saridin tidak kebagian jatah ikan karena jatah Saridin diambil oleh santri lain, kemudian Saridin menuju kubangan air buangan dan memasukkan tangannya kedalam airnya, dengan ajaibnya dari tangan Saridin keluar ratusan jenis ikan, santri yang melihat inipun melaporkan Saridin ke sunan kudus.
Sunan : lah apa Din?
Saridin : ngluru ulam yi,
Sunan : loh, ning kalenan ana iwake?
Saridin : menawi pengeran ngersakke nggih wonten yi, nek wonten toya nggih wonten ulame
Mendengar itu, sunan kudus akhirnya mengambil kendi (tempat air minum dari tanah)
Sunan : lha ning kene ana din? (Sambil menunjuk kendi)
Saridin : menawi dipun kersake kaliya pengeran nggih wonten
Sunan : Yowis, dap pecahe
Kendipun dipecah, dan ternyata Saridin benar, dalam askan ada ikannya.melihat itu, sunan kudus lalu memerintahkan santrinya untuk mengambil buah kelapa
Sunan : lha iki apa din?
Saridin : krambil
Sunan : ana apane din?
Saridin : nggih wonten sepete to yi
Sunan : ning jerone sepet ana apane din?
Saridin : nggih bathoke krambil
Sunan :lha ning jerone bathok ana apane din?
Saridin : nggih wonten cikalan tow yi,
Sunan : lha ning njerone cikalan?
Saridin : nggih wonten toyane to yi,
Sunan : ana iwake?
Saridin : menawin dipun kersakke pengeran ngih wonten to yi,
Akhirnya sunan kuduspun membelah kelapa itu, dan lagi-lagi Saridin benar didalam kelapa itu ada ikannya. Karena dipermalukan akhirnya sunan kudus marah dan mengusir Saridin
Sunan : wis din ngene wae, aja pisan-pisan maneh ngidak tanah kudus, minggata
Saridin : inggih
Namun ternyata Saridin tidak pergi melainkan sembunyi didalam jamban pondok pesantren, suatu hari saat istri sunan kudus ingin buang air tiba-tiba daerah kewanitaannya ditusuk-tusuk Saridin menggunakan kembang kenanga, alhasil, istri sunan kudus tersebut menjerit dan membuat geger seluruh pondok, akhirnya setelah dicari masalahnya Saridin ditemukan masih didalam jamban.
Sunan : loh din, awakmu wis dak utus minggat isih wae ning kene
Saridin : lah panjenengan pesenipun supados kula mboten ngidak tanah kudus, lha niki kula ngidak tai
Sunan : Wo bocah guendeng
Saridin : akhirnya Saridinpun lari dan dikejar oleh seluruh santri, hinggi disuatu tempat ia bertemu dengan sunan kalijaga, kemudian ia dihukum untuk bertapa dilaut, padahal sunan kalijaga tahu bahwa Saridin tidak bisa berenang, akhirnya karena kebiksanaan sunan kalijaga Saridin diberikan dua buah kelapa untuk pelampung.
Nah itu cerita Saridin alias Syeh Jangkung yang aku dengan dari kyai Abing, menarik? Yah, menarik bukan itu tergantung para penikmat cerita mengambil hikmah dari sisi mana, satu lagi hal yang aku ingin tanyakan pada para pembaca blog ini, apakah Saridin mirip dengan Gayus Tambunan?

Powered By Blogger

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More