Widget by Blogger Buster

Linux Jatirogo

Selamat datang di Sahabat DW. Sebuah blog berisi tulisan amatir seorang siswa dan penggila Open SOurce Software

Sahabat DW

Kenanglah, karena kenangan terciptu untuk dikenang. Sebuah kenangan akan sangat berarti jika dapat merasakan makna dari kenagan yang terkenang itu

Sahabat DW

Andaikan pengalaman dijual di toko-toko tentu pengalaman akan mudah didapatkan, dan tentunya di dunia ini nggak ada orang yg nggak berpengalaman.

Sahabat DW

Sebuah jejak akan hadir setelah kita memilih untuk melakukan sesuatu, baik buruk jejak tergantung pilihan kita

Sahabat DW

Jangan ragu untuk melangkah, karena takdir dan mimpi tidak pernah salah, mereka berjalan di jalan yang memang seharusnya. Mari abadikan semua ada pada kita dengan menulisnya

27 Oct 2010

Jejak Dari Sebuah Pilihan

(Sebuah Jejak Penulis Dari Sadang Sampai Jamprong)

“Eh, jangan lupa ikut survey ya. . . .” ujarku ke teman-teman Dewan Galang. Hari Selasa itu memang sudah rencana kami untuk melakukan survey untuk kedua kalinya ke bumi perkamahan di Jamprong, Kenduruan. Kami memang akan melakukan diklat lapangan di desa tersebut. Tepatnya diklat untuk para Dewan Galang baru. Aku saat itu merasa bersemangat karena selain jam-jam membosankan telah selesai aku lewati, teman-temanku sepertinya juga memberi respon baik dalam survey kali ini.

Tanpa banyak omong bersama Eriki, aku langsung pulang. Dan ……HAH tulisan “ma piye lek tempat diklate di pindah, coba tekon Pak Suri. Sepertinya da masalah keamanan di sana. Nanti malem ketemu di rental Pak Miun.” Tampak di layar hp LG KE770ku. Wah pikiranku saat itu bercampur aduk, antara khawatir dan penasaran. Tanpa pikir panjang, aku langsung minta penjelasan dari Pak Kismunaji. Aku dan Eriki langsung menuju rumahnya di Besowo.

Tampak sebuah keragu-raguan di wajah guru BK SMP Negeri 1 Itu saat menjelaskan kendala perkemahan kali ini. Dan beliau menyarankan agar aku langsung minta kejelasan dari Pak Miun saja. Dan, dengan sepeda Vega-R biruku, aku langsung menuju kerumah Guru ICT itu.

Dengan wajah yang masih tampak mengantuk (mungkin bangun tidur), dia menjelaskan masalah yang aku maksud tadi dan Pak Miun juga memberi solusi yang menurutku juga tepat. Setelah cukup mendapat cermah, aku melirik jam hpku sudah menunjukka 14.46. “Wah sudah molor” batinku. Karena takut lebih molor lagi, aku segera berpamitan dan pergi ke rumah Anin. Memang sebelum ini aku sudah berjanji untuk boncengan dengan cewek berbakat ini.

Awan gelap serentak menyelimuti, langit SMP saat aku dan Anin tiba. Dan tak selang lama, tetesan air dari langit mencuci tembok SMP selama beberapa menit. Dan tanpa mengurangi semangat, tim Dewan Galang Ranger segera menuju lokasi perkemahan di Jamprong. Untuk sampai di bumi perkemahan (Buper), jarak yang ditempuh cukup jauh dan jalannya boleh dikatakan sangat jelek, maklum area hutan. Aku dan Anin memang sudah akrab, dan saat itu kami boncengan (Sudah janjian sebelumnya), selama perjalanan aku mengisinya dengan bacaan sholawat dan terkadang bercanda dengan Anin menggunakan perpaduan nada bicara penyiar radio dan pemandu sepak bola.

Singkat cerita, aku dan DG Ranger, tanpa banyak cakap langsung melakukan tugas sesuai rencana awal sebelum keberangkatan. Aku, Anin dan Ipa (kenalanku saat survey pertama) mengellingi sambil mengamati area sekitar Buper. Tujuannya untuk menyiapkan tempat materi untuk kegiatan diklat nanti. Hari semakin sore, jam HPku juga sudah menunjukkan pukul 17.12. Maka, aku beserta DG Ranger segera berpamitan.

Dengan sepada motorku, seperti saat berangkat tadi aku boncengan dengan Anin. Selama melewati jalanan berbatu aku sering membunyikan klakson sepedaku, tujuannya agar aku dan temanku di belakang saling dapat memeberi kode bahwa aku baik-baik saja, sekaligus menjaga agar tidak diganggu oleh hal-hal yang tidak aku inginkan (menurut orang-orang tua, di jalan-jalan yang demikian memang sangat dinjurkan untuk membunyikan klakson, agar terhindr dari gangguan makhluk lain).

Setelah terbebas dari jalan terjal, aku langsung mengucap hamdalah. Tapi, entah mengapa tiba-tiba Anin bilang bahwa persaannya mendadak tidak enak. Aku tidak memperdulikannya, kendaran yang kami tumpangi berjalan dengan kecepatan 35Km/jam.

“Din . . . . din. . . . .” klaksonku mulai berbunyi lagi. Namun mendadak perasaanku juga berubah jadi sama dengan Anin, karena aku tidak mendengar sahutan klakson rombonganku. Akan tetapi aku tetap berusaha untuk tetap rileks selama menyetir. Dan secara tiba-tiba cahaya di sekitar mataku tampak meredup. Aku sendiri juga tidak tahu mengapa. Karena khawtir, aku mulai menurunkan kecepatan kendaraanku.

Lama-kelaman perasaanku jadi berubah ketakutan, cemas, khawatir adalah kumpulan perasaan yang tengah berkecamuk dalam benakku. Tangan kiriku yang awalnya menyetir, kini aku gunakan untuk membetulkan pakaian belakangku, namun……… saat tanganku menyenggol tangan Anin yang super dingin, aku jadi tambah ketakutan. Saat itu, aku sempat berpikir bahwa dia bukan Anin melainkan dedemit, karena sejk dari tadi aku tidak mendengar suara berisiknya. “Haduh………..gawat, kalau beneran bukan Anin, wassalam hidupku” batinku cemas.

Saat aku melihat sebuah jembatan, aku mulai membuka percakapan dengan Anin, sekalian untuk memastikan bahwa dia bukan Kuntilanak atau sebangsanya….

“Yes, Nin. . .di depan itu jembatan, trus tikungan. Berarti sudah hampir sampai jalan raya.” Ucapku sok tahu namun dengan nada cemas.

“Ya” jawab Anin singkat.

Hah…… lega mendengarnya, meskipun singkat tapi aku masih mendengar itu suara khas dari mulut cewek berkulit hitam itu. persasaanku mendadak kembali ketakutan lagi. Aku merasa aneh, mengapa setelah jembatan bukan tikungan yang aku temui melainkan jembatan lagi?. Rasa was-was sudah tidak bisa aku tahan lagi. Tiba-tiba lampu sepedaku mati dan “nggreng………………gegek” sepadaku mati setelah melewati jembatan. Haduh . . . .pikiranku sudah tidak karuan, kerena sebelumnya sepeda ini tidak pernah bermasalah (sudah diservice oleh ayahku sendiri). Terlihat dari spion kiri wajah Anin sepertinya juga sudah tampak gelisah, apalagi di tempat sepedaku mati tadi adalah pinggir sawah yang tak berpenduduk sama sekali. Tanpa pikir panjang, aku terus berusaha untuk menyalakan sepedaku. Beberapa kali gagal memang, nemun akhirnya berhasil. Tanjakan tinggipun kami lewati, dan sepertinya mulai tampak perkampungan kecil. Jalan yang kami lewati semakin sempit, akhirnya kami masing-masing mulai menyadari, bahwa itu bukanlah jalan yang kami lewati saat berangkat.

Aku amat takut saat itu, aku bukan takut tidak bisa pulang, tapi aku takut karena aku membawa anak orang. Akhirnya, kamipun memutuskan untuk bertanya pada orang di sana, dan ternyata sesuai dugaan, KAMI TERSESAT. Awalnya aku tak percaya memang, karena aku sudah hafal betul jalan itu. jadi kemungkinan salah jalan adalah sedikit sekali. Lagipula seandainya salah jalur, Aninkan harusnya tahu.

Dengan rasa deg-degan dan was-was kami berbalik arah. Mencari dimana tempat kami melakukan kesalahan, namun tidak kunjung ketemu. Dan untuk kedua kalinya, kami memutuskan untuk bertanya lagi. Dan jawaban dari wanita tua yang kami tanya sangat mengejutkan, kata beliau tempat kita bertanya dengan tikungan jaraknya jauh sekli, jadi itu sama artinya aku dan Anin telah salah jalan jauh lebih dari 4Km.

“Ma, aku takut nggak bisa pulang” ungkap Anin dengan nada cemas.

“Sudah Nin, tenang! Jangan buat aku tambah takut” jawabku dengan rasa takut.

Hari semakin larut, sebenarnya aku juga agak merinding melihat situasi seperti ini, sawah yang gelap, pemakaman, tanjakan dan turunan, tikungan tajam dan semua yang serba gelap. Dan Alhamdulillah akhirnya tikungan pertiganpun kami temui. Barangkali ini yang membuat kami salah jalur. Namun aku merasa aneh dengan pertigaan ini, karena tadi aku dan Anin tidak melihat pertigaan ini, dan aku ingat betul ini tadi tampak seperti tikungan. Ah, daripada takut mikirin ini, aku langsung menarik gasku, sehingga sepeda yang kami tumpangi berjalan lebih cepat. Dan benarlah ini jalan pulang. Dan jalanan yang bertepi sawah, suara binatang serta suara sepeda motor menemani kami menuju Jatirogo.

Megingat kami belum melakukan kewajiban kami, kamipun berhenti di salah sebuah masjid sambil mengurangi rasa takut kami tadi. Di masjid yang bertembok hijau ini, kami melakukan sholat maghrib. Meski masjid ini cukup besar, namun peralatan di dalamnya masih kurang terawat. Mukena misalnya, alat ibadah untuk para wanita ini sungguh tragis keadaannya, seperti tidak pernah dipakai. Bahkan saat dipakai Anin, mukena ini malah mlorot. Wah sungguh tragis keadaan masjid ini.

Setelah sholat kamipun lansung pulang, kali ini Anin yang menyetir. Alhamdulillah, kami masih di beri keselamatan Allah. Aku masih tak bisa membayangkan, mengapa pertigan tadi berubah jadi tikungan. Seperti ada sesuatu yang menutupi. Tapi tak apalah, buktinya aku masih bisa menulis ceritaku ini, berarti aku masih dalam keadaan sehat wal afiat. Beberapa rekanku tak percaya saat aku menceritakan hal ini pada mereka. Namun aku sangat berharap semoga kegiatan diklat kami lancar tanpa ada gangguan apapun. Amin….

21 Oct 2010

Sebuah Jejak Adlah Suatu pilihan

Sebuah Jejak Adalah Suatu Pilihan
Oleh : Achmad Romadlon H.

Memilih, bagi sebagian orang itu adalah suatu hal tersulit, namun tetap harus dijalani. Aku sendiri sering dibingnugkan oleh dua, bahkan lebih pilihan. Di satu sisi, aku tidak ingin memilih, Karena terkadang semua pilihanku membuat orang lain kecewa. Tapi di sisi lain aku harus memilih, karena dengan memilih aku bisa membuat suatu keputusan, meskipun bukan terbaik.
“Hidup adalah pilihan”, aku pernah mendengar kalimat itu, namun aku kurang srek dengan kaalimat barusan. Aku lebih suka jika diganti “Hidup untuk memilih”. Karena seberapa pandnyapun seseorang, suatu saat dia harus memilih. Bahkan hmpir tiap hari kita selalu memilih.
Kita atau bahkan aku sendiri, terkadang tidak mengetahui dan tidak sadar bahwa pilihan kita adalah sesuatu yang benar dan dapat dianggap benar oleh seseorang. Sulit memang, setelah mimilihbesar kemungkinan orang lain sakit hati bahkn membenci kita.
Saya sendiri pernah mengalami bahkan sering melakukan sebuah kesalahan ketika memilih. Namun diantara semua kesalahanku, yang sampai saat ini masih ingat salah satunya adalah meninggalkan kekasih pertamaku.
Berat memang, aku dalam keadaan bingung. Di satu sisi aku masih menyayanginya (bahkan sampai saat ini), sedang di sisi lain aku melihat dia mengalami kemunduran dalam hal belajar selama berhubungan denganku (waktu itu aku masih pelajar). Aku merasa tidak tega untuk meninggalkannya, namun aku juga tidak mau mempengruhi belajarnya menjadi lebih buruk. Dengan mengungkapkan sebuah kebohongan, aku memberanikan untuk berbicara dengan maksud pokok untuk meninggalkannya.
Malam itu, pipiku agak basah karena tetesan air mata kebodohan. Aku merasa telah melakukan sebuah kesalahan, aku membuatnya sakit hati, dan mungkin sampai sekarang wanita itu masih sakit hati padaku. Ah. . . . .bodoh . . . bodoh. . .bodoh. . . . aku orang bodoh, mengapa kau harus meninggalkannnya??? Terlambat, aku cuma bisa menyesali pilihanku. Dan aku sudah tidak bisa mengulaginya.
Meskipun aku masih menyimpan tumpukan perasaan padanya, aku ragu dia akan menerimaku kembali setelah pilihanku itu. Jika ingat aku masih ingin menangis, ingin lari, dan ingin mengjarnya kembali. Apa lagi kalau ingat bagaimana sulitnya aku mendapaknannya dulu. Tak sebandig memang, namun semua telah jadi sejarah dan sebuah jejak dari pilihanku. Aku berharap, pilihanku kedepan akan menjadi jejak yang dapat membuat orang lai tidak kecewa.

5 Oct 2010

Sebuah Pilihan Dan Kebohongan

Sebuah Pilihan Dan Kebohongan
(Di Balik Wajah Gembira Lomba TKN)

Sebuah wajah lelah tampak terpancar dari gerombolan murid kebersihan setelah berjam-jam mengabulkan permohonan dari guru mereka. Seperti beberapa tahun lalu, saat akan diadakan penilian kebersihan, jam-jam pelajaran jadi berubah total menjadi jam bersih-bersih.
Entah sebuah keterpaksaan atau kesadaran, para penimba ilmu menjadi “cleaning robot” di sekolahnya sendiri. Memang tidk dipungkiri, banyak dari mereka yang merasa senang karena merasa terbebas dari jam pelajaran yang menurut mereka cukup membosankan dan melelahkan.
Mengapa ini harus dilakukan? Demi kemenangan? Demi gengsi? Kenapa harus menutupi sebuah fakta? Tahun lalu memang sekolah ini mendapat juara ke-dua lomba Tuban Kinarya Nugraha, namun jika melihat keadaan sampah setelah lomba tersebut, apakah kita pantas membanggakan kemenangan tahun lalu?
Sebuah kebohongan memang, namun mengapa tidk ada yang memprotes?? Apa mulut kita telah dibungkam rasa takut? Apa mata kita sudah terhalangi dengan godaan juara?
Sebenarnya bukan permasalahan yang serius jika pemimpinnya adil dalam melakukan perbaikan dan pembangunan ini. Namun jika melihat ruangan-ruangan di sekolah yang sampai saat ini tidak berfungsi dan kurang diperhatikan keberadaanya tiada salahnya menyalahkan pemimpin itu.
Ingin juara tapi belum memiliki sikap juara? Apakah sudah pantas? Semoga, tahun ini Sekolah ini mendapat peringkat pertama. Karena hanya dengan itu, tahu-tahun berikutnya tidak aka ada yang mimilih jalan kebohongan untuk mencapai tujuan.

Powered By Blogger

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More