,,semua sudah terjadi. Menangis untuk hari kemarin adalah hal
bodoh yang harus aku tinggalkan. Menatap hari esok, kupikir jauh
lebih berguna daripada hanya diam seperti ini. Harus ada perubahan.
Untuk semuanya saja, maaf aku tak bisa menjadi apa yang kalian
inginkan. Untuk sahabatku, maaf aku tak bisa menjadi sahabat
terbaikmu, bahkan aku merusak tali persahabatan kita dengan sebuah
hal bodoh yang seharusnya tak pernah kuungkapkan, terkadang berbohong
memang aku perlukan, semisal untuk hal-hal seperti ini.
Untuk orang yang menyandarkan hatinya pada padaku, aku juga minta
maaf, karena aku tak lagi kuasa untuk kau jadikan tempat bersandar.
Aku tahu, di luar sana ada ribuan manusia yang jelas-jelas jauh lebih
baik dariku, sebab itu, sekarang pergilah! Jangan penjarakan hatimu
dalam tubuhku, karena aku bukan tempat yang baik untuk kau jadikan
dermaga, terlebih menambatkan jangkar dan berhenti. Carilah apa yang
menurutmu baik, kita tetap teman, tapi aku akan mencoba untuk
menghapus semua hasrat itu hari ini. Aku tak mau lagi menahanmu, toh
aku juga tak kuasa untuk menahanmu.
Temanku sempat berkata padaku, "menulis nama seseorang di
setiap sudut ruang nyatamu, adalah hal paling riil yang membuktikan
bahwa kau mencoba memaksa dirimu untuk mencintai pemilik nama itu,
cukup simpan saja namanya dalam dada, dan biarkan dia tersenyum di
sana. Tak perlulah berjanji manja, karena itu adalah akhir dari
kebersamaanmu suatu ketika". Maaf hati.
Sering kali aku mengucapkan kata maaf, dan itu justru membuatku
terlihat begitu bodoh. Ya, sangat bodoh. Seharusnya kata maaf itu tak
perlu tercipta di dunia ini, karena maaf dalam lamunku adalah simbol
kebodahan yang telah kau perbuat, dan baru kau sadari hari ini, dan
sebelum itu kau tak pernah mau berfikir bahwa ketika sudah melakukan
sesuatu kau perlu kata maaf untuk mengulangi semua, berharap
orang-orang di sekitarmu mau melupakan kebodohanmu.
Hari ini, aku masih tak mengerti apa yang harus aku perbuat lagi.
Aku tak bisa memaksa hati. Dia seolah-olah berjalan sendiri tanpa
menuruti apa yang aku instruksikan dari otak. Seenaknya saja.
Hari ini, aku seolah-olah berlagak menjadi orang paling menyesal
di dunia karena telah melakukan sebuah kesalahan besar. Namun aku tak
tahu bagaimana dengan hari esokku, akankah masih sama atau sudah
melupakan semua ini.
Untuk sahabatku, Anin. Tanpa peduli seberapa bencinya dirimu
padaku sekarang, sesuai dengan pilihan hati, kamu tetap akan
menempati tempat bernama "Ruang Sahabat" dalam hatiku.
Meski esok atau seterusnya tak lagi kudengar suara candamu, suara
marahmu, suaramu ketika meremehkanku, aku akan tetap menyimpan semua
nada yang pernah terlantun dan sempat kita lewati sebagai seorang
"teman".
Untuk sahabatku, Anin. Mungkin, bahkan memang aku tak mungkin
dapat melebihi dirimu, tapi setidaknya melihat seorang temanku dapat
membusurkan senyumnya, itu sudah cukup untukku. Sudah cukup untuk
membuatku juga tersenyum, meskipun kamu tidak tahu. Aku yakin kamu
tidak akan pernah tahu, karena aku menyembunyikannya sejak aku mulai
mengenalmu.
,,ah bukan. Bukan, aku bukan bermaksud untuk memaksamu melupakan
kebodohanku tempo hari. Itu semua terserah kamu. Aku selalu percaya,
menjadi pemuja rahasia, itu jauh lebih baik. Tersenyum dengan
sembunyi-sembunyi saat kamu bahagia itu lebih baik, karena aku memang
orang yang gagal dalam banyak hal, termasuk menjadi temanmu.
,,ah bukan. Bukan, aku bukan mengutuki diriku sendiri.
Untuk sahabat diamku, aku akan selalu merindukan merajut kisah
bersama dirimu.
Tersenyum untuk sahabatku, meski tak terbalas tak apa, karena
ssahabat bukan menggunakan rumus aksi reaksi. Bahkan Enstein
sekalipun tak akan sanggup membuat rumus yang pas itu sebuah
persahabatan.
Untuk sahabatku, Anin. :-)