Widget by Blogger Buster

Linux Jatirogo

Selamat datang di Sahabat DW. Sebuah blog berisi tulisan amatir seorang siswa dan penggila Open SOurce Software

Sahabat DW

Kenanglah, karena kenangan terciptu untuk dikenang. Sebuah kenangan akan sangat berarti jika dapat merasakan makna dari kenagan yang terkenang itu

Sahabat DW

Andaikan pengalaman dijual di toko-toko tentu pengalaman akan mudah didapatkan, dan tentunya di dunia ini nggak ada orang yg nggak berpengalaman.

Sahabat DW

Sebuah jejak akan hadir setelah kita memilih untuk melakukan sesuatu, baik buruk jejak tergantung pilihan kita

Sahabat DW

Jangan ragu untuk melangkah, karena takdir dan mimpi tidak pernah salah, mereka berjalan di jalan yang memang seharusnya. Mari abadikan semua ada pada kita dengan menulisnya

27 Jun 2011

Secuil Catatan Di Ujung Senja


Secuil Catatan Di Ujung Senja
(Nasionalisme Bukan Soal Lagu)

Wah sedikit kecewa rasanya tim merah putih kalah dalam Indonesia Open 2011, yah mau apa lagi aku jugakan tidak bisa membantu he. . .he. . . dukungan melimpah dari anak-anak Indonesia yang sudah haus akan kemenangan untuk Tim Indonesia, mungkin itu yang menyebabkan semua ini begitu bergemuruh saat ada sebua pertandingan.
Ingat Piala AFF? Kau ingat bagaimana dukungan anak-anak Indonesia? Mereka sangat gembira, dengan mengumandangkan lagu garuda di dadaku sebagai yel-yel utama, tapi saat mereka menyaksikan Firman Utina dkk kalah saat final melawan negara yang selalu mencari masalah dengan negara kita? Yah, aku tahu mungkin disitulah tempat mereka mewujudkan nasionalismenya, aku selalu memasang statment pada diriku, nasionalime bukan hanya soal lagu, bukan hanya soal angkat tangan saat lihat bendera. Hal apapun yang tidak membuat negara menjadi kehilangan nama baik bagiku adalah sifat nasionalisme.
Mungkin baru kali ini aku menulis masalah kesemrawutan ini. Soal negara dan isinya, yah itu tidak lain karena aku memang kurang tertarik untuk melihat orang-orang yang berkuasa semena-mena, namun bagaimana juga aku anak Indonesia, jadi aku juga harus tahu apa yang sedang terjadidi rumah tercinta ini.
Semua berawal dari hal kecil, ya aku paham itu. Kadang aku mempertanyakan apakah wakil-wakil kita termasuk orang yang bernasionalisme? Atau mereka hanya menjadikan jabatan mereka sebagai tempat menimbun jatah makan orang lain? Wah-wah kalau begitu bobrok benar negaraku.
Beberapa waktu yang aku bertanya pada mbah google mengapa Indonesia tidak maju-maju? Banyak sekali jawaban dari para ahli, dan beberapa banyak yang menyalahkan pejabat negara sebagai biang keladinya. Kalau pejabatnya saja sudah tidak mendapat kepercayaan, mau jadi apa negara tempatku lahir ini? Sebagai anak yang suka tentang komputing, aku sempat bertanya, mengapa beberapa waktu lalu pemerintah membeli komputer seharga 15 juta hanya untuk hal browsing dan office? Dengan uang sebanyak itu, tentu memperoleh komputer dengan spek yang tinggi, apa yang menganggarkan lupa dengan korban lapindo? Lalu di bidang pendidikan mengapa mentri pendidikan lebih memilih menggunakan produk microsoft sebagai standar di kurikulum? Padahal jika menggunakan program FOSS (Free Open Source Software) tentu akan mengirit pengeluaran negara, dari segi kualitas aku kira FOSS tidak kalah dengan produk microsoft, malah lebih baik. Selain itu, Menkominfo juga kan sudah menghimbau agar agar proyek IGOS (Indonesia Go Open Source) sukses pada akhir 2011, aku merasa heran, sama-sama mentri di negri ini mengapa haluannya berbeda ya? Mungkin beberapa mereka takut, kalau APBN menurun karena pindah ke FOSS, sehingga tidak ada hal yang dikorup. Payah.
Lalu ingat soal siswa SD yang melaporkan mengenai contek masal? Beberapa orang di sekitarku banyak yang menganggap itu adalah hal yang berlebihan, mengapa? Kerena “mungkin” hal yang dilaporkan anak itu sudah menjadi hal yang biasa terjadi sehingga dianggap hal yang wajar. Namun menurutku itu adalah salah satu bentuk nasionalisme yang tepat bagi siswa SD (maaf lupa nama anaknya). Ya, iku rasa itu hal yang cukup tepat, meskipun aku sendiri tidak bisa melakukannya, namun aku cukup tertarik dengan masalah ini. Mungkin jika ada anak yang takut melaporkan hal yang tidak semestinya kemudian dibungkam dengan sesuatu yang menguntungkan baginya, orang itu adalah calon wakil rakyat masa kini, entah esok hari.
Ya-ya memang sudah banyak orang yang menggembar-gemborkan soal nasionalisme dengan mendemo wakil rakyatnya, namun adakah yang berhasil? Adakah dampak yang di peroleh? Nol!
Aku sendiri tak bisa menduga bagaimana negara ini saat aku dewasa nanti, bagaimana dengan harapan-harapanku, impianku dan semuanya. Kita lihat saja nanti.

20 Jun 2011

Ingatan Dalam Kenyataan


Ingatan Dalam Kenyataan

hari ini sebuah perjalanan mendadak terpakasa harus ku lalui, perjalanandari rumah menuju sebuah tempat dimana aku akan belajar kelak. Perjalanan ini cukup terpakasa, karena seharusnya bukan hari ini jadwalku untuk pergi kesana, dan tentunya aku harus membatalkan semua perjanjian dan kegiatanku hari ini. Sial memang, namun mau bagaimana lagi?
Hamparan rumah mewah sampai rumah tak mewah menemani perjalananku ini, hamparan ssawah garam juga menjadi pemandangan yang cukup membuatku bosan dan bertanya-tanya. Aku ingat sebuah kabar burung beberapa bulan yang lalu yang mengatakan bahwa garam di Indonesia akan mengimpor dari luar negri, lalu aku bertanya apakah garam di negaraku kurang asin? Apakah laut di negaraku sudah tak bergaram lagi? Apakah negaraku tak punya laut? Bagaimana dengan nasib dengan para petani garam? Apakah pemimpin negaraku setara dengan udang? Aku melihat jerih payah para petani garam meskipun hanya dalam perjalanan, namun aku tak bisa membayangkan bagaimana lelahnya bertani garam, dan kalian tahu garam di toko depan rumahku hanya seharga Rp. 300 untuk tiap bungkus, dimana bungkus itu cukup besar dan bisa digunakan memasak ibuku selama berminggu-minggu. Ah, semga kabar yang aku dengar hanyalah kabar yag dibuat oleh orang-orang yang buta akan luasnya lautan negaraku.
Aku sampai di tempat tujuanku, di pondok pesantren di daerah Pati. Aku pernah kemari, dwaktu pertama kemari aku cukup tertegun dengan semua yang ada di sini, kedisiplinan mereka, ketaatan mereka, dan kesadaran mereka. Aku sadar, aku tidak ada apa-apanya dibandingakan dengan mereka. Ini bukan soal ilmu, ini tentang pengalaman. Mungkin aku selama ini mendapat pengalaman dari guru-guru SMPku, dan aku sangat berterima kasih akan hal itu, meskipun aku tidak pernah mengucapkan terima kasih pada mereka, namun di sini aku merasa kecil dan tidak ada apa-apanya.
Hari saat aku bertandang kemari ini, ternyata adalah hari penerimaan hasil belajar kepada orang tua, semua kegiatan aku lihat dipersiapkan oleh para santri yang aku pikir masih sekolah setingkat SMA. Aku jadi teringat saat aku merasa membohongi orang tuaku dulu ketika penerimaan rapor SMP kelas 8 dan 9. Yah, saat kelas 8-9 aku memang jarang belajar tidak seperti saat aku masih kelas 7 atau bahkan SD yang bisa ku kuatakan amat rajin belajar, namun niliai yang diterima masa itu cukup baik meskipun tak sebaik saat masih kelas 7, jujur bisa aku katakan itu bukan nilai beberapa mata pelajaran yang ada dirapor aku yakin bukan nilai hasil kerjaku. Aku senang membuat orang tuaku tersenyum, namun kadang mataku tak bisa menahan sedikit tetesan air mata saat aku ingat itu bukan hail yang sebenarnya, dan itu artinya aku membihingi mereka. Itu masa lalu. Ya , memang masa lalu, tapi cukup membuat aku agak malu, terlebih saat melihat beberapa santri di sini mendapat pengumuman hasil belajar mereka yang sudah terbukti murni karena tesnya bukanlah bersama namun satu per satu. Beberapa dari mereka ada yang tidak naik kelas karena belum mampu menghafal syi'ir Imriti maupun Al-Fiyah. Namun aku heran orang tua mereka tetap memberikan senyuman semangat, bahkan tak memarahi mereka-mereka yang gagal itu. Aku sadar benar kata guruku SMP, di pondok ini yang terpenting bukan soal nilai namun pengalaman putra-putri mereka. Aku jadi tertawa kecil saat ingat ada anak yang dimarahi orang tuanya bahkan tidak boleh keluar rumah dan dikunci serta dibebani untuk belajar dan membaca lagi buku-buku pelajaran. Aku tak menyalahkan dan membenarkan, semua memiliki hak masing-masing.
Menurutku tidak ada ilmu yang tidak berguna, namun sepertinya pendapatku itu tidak berlaku kepada orang yang duduk disebelahku seusai sholat dluhur. Dari pembicaraannya selama berjam-jam dengan rekannya, aku sedikit banyak mendengar dan memahami orang itu. Aku tahu bahwa orang ini cukup mendewa-dewakan ilmu agama, itu tak salah itu juga kebebasannya. Benar juga tidak ada hitam putih, yang ada abu-abu, aku kembali ingat salah satu obrolanku beberapa waktu lalu dengan guruku.
Cukup banyak pelajaran yang aku dapat hari ini, bahkan lebih banyak dari pelajaran di kelas dulu. Di sini kelak aku membuat sebuah jejak, gagal berhasil urusan nanti bagiku, dalam catatanku yang terpenting adalah melakukan semuanya tanpa ada paksaan. Kakiku siap melangkah lagi.

17 Jun 2011

Linux Is Not Windows


Linux Is Not Windows
Problema #1: Linux itu tidak terlalu sama dengan Windows
Anda akan terpukau seberapa banyak orang yanng mengajukan keluhan ini. Mereka berdatangan ke Linux, berharap menemukan Windows yang gratis dan open-source. Seringkali ini yang apa mereka dengarkan dari penggemar obsesif Linux. Namun, ini adalah harapan paradoksial.
Alasan-alasan spesifik kenapa orang mencoba Linux sangat beragam, namun alasan utama terurai menjadi satu hal: mereka berharap Linux lebih baik daripada Windows. Faktor-faktor yang biasa menjadi penanda sukses adalah biaya, pilihan, performansi dan keamanan. Sebenarnya banyak lagi, tapi tiap pengguna Windows yang mencoba Linux mencobanya karena mereka berharap Linux lebih baik daripada yang mereka punya sekarang.
Itulah problemanya.
Secara logika, sangatlah mustahil untuk sesuatu menjadi lebih baik dari sesuatu yang lain, namun tetap sepenuhnya mirip. Sebuah salinan mungkin saja sama, tapi tidak akan melampaui. Jadi, ketika Anda mencoba Linux dengan harapan bahwa ia akan lebih baik, Anda secara tidak langsung berharap Linux akan berbeda dengan Windows. Kebanyakan orang mengabaikan fakta ini, dan tetap teguh bahwa tiap perbedaan antara kedua OS tersebut merupakan kegagal dari segi Linux.
Sebagai contoh sederhana, ambil saja upgrade driver: seseorang biasanya mengupgrade sebuah driver perangkat keras pada Windows dengan mengunjungi situs perusahaan yang terkait dan mengunduh driver barunya; sedangkan pada Linux Anda perlu mengupgrade kernelnya.
Ini artinya bahwa satu unduhan dan upgrade dari Linux akan memberikan Anda driver terbaru yang ada untuk mesin Anda, sementara pada Windows, Anda perlu browsing banyak situs dan mengunduh semua upgrade-annya satu-per-satu. Walaupun proses yang sangat berbeda, namun bukan proses yang tidak bagus. Tapi banyak orang mengeluh karena mereka tidak terbiasa dengannya.
Atau, untuk suatu contoh yang mungkin Anda lebih kenal, kita ambil Firefox: salah satu kisah sukses bagi dunia open-source. Sebuah peramban web yang menyerbu dunia. Apakah ia sukses karena menjadi imitasi sempurna dari Internet Explorer, yang dulunya peramban paling terkenal?
Tidak. Ia sukses karena ia lebih bagus dibandingkan IE, dan ia lebih bagus karena ia berbeda. Ia mempunyai rambanan ber-tab, penandaan langsung, searchbar yang terintegrasi, dukungan untuk PNG, ekstensi adblocker, dan banyak hal lagi. Fungsi "Find" muncul pada toolbar disebelah bawah ketika Anda mulai mengetik dan mencari kesamaan selagi Anda menulis, dan berubah merah ketika tidak ada kesamaan. IE tidak mempunyai tab, tidak ada fungsionalitas RSS, searchbar hanya pada extensi pihak ketiga, dan sebuah dialog "Find" yang membutuhkan klik pada tombol "OK" untuk mulai mencari dan klik pada "OK" lagi untuk menghapus pesan error "Not found". Sebuah demonstrasi yang jelas dan kuat sebuah aplikasi open-source mencapai sukses dengan menjadi lebih baik, dan lebih baik dengan menjadi beda. Jika seandainya FF adalah sebuah klon IE, ia akan menghilang kedalam ketidak-jelasan. Dan jika Linux adalah sebuah klon Windows, hal yang sama akan terjadi.
Jadi solusi untuk problema #1: Ingat bahwa dimana Linux itu familiar dan sama dengan apa yang Anda terbiasa, berarti ia tidak baru dan lebih baik. Selamat datang ke tempat dimana semuanya itu berbeda, karena hanya disinilah ia dapat kesempatan untuk bersinar.
Problema #2: Linux terlalu beda dengan Windows
Isu berikutnya muncul ketika orang memang berharap Linux untuk beda, tapi menemukan bahwa beberapa perbedaan terlalu radikal untuk preferensi mereka. Mungkin contoh terbesar dari ini adalah luasnya pilihan yang tersedia untuk pengguna Linux. Dimana pengguna Windows punya dekstop Classic atau XP dengan Wordpad, Internet Explorer dan Outlook Express terpasang, Linux mempunyai ratusan distro untuk dipilih, lalu GNOME atau KDE atau Fluxbox atau apa, dengan vi atau emacs atau kate, Konqueror atau Opera atau Firefox atau Mozilla, dan seterusnya.
Seorang pengguna Windows tidak terbiasa dengan banyaknya pilihan. Pesan "Haruskah saking banyaknya pilihan?" sangat umum ditemukan.
Perlukah Linux berbeda sangat daripada Windows? Lagipula keduanya sistem operasi. Keduanya bekerja serupa:
nyalakan komputer Anda & memberikan Anda sesutau untuk menjalankan aplikasi. Seharusnya, 'kan kurang lebih sama?
Lihat dari segi ini: coba keluar dan lihat semua jenis kendaraan yang mengemudi di jalan. Semua kendaraan ini dibangun dengan tujuan yang kurang-lebih sama: agar mengantar Anda dari A ke B dengan menggunakan jalan. Catat semua variasi pada desainnya.
Tapi Anda mungkin berpikir perbedaan pada mobil agak minor: mereka punya setir, kontrol pedal kaki, persneling, rem tangan, jendela & pintu, tangki bensin... Jika Anda bisa mengemudi satu mobil, Anda bisa mengemudi mobil apa saja.
Betul juga. Tapi tidakkah Anda melihat bahwa beberapa orang tidak mengemudikan mobil, namun malahan sepeda-motor?
Berganti dari satu versi Windows ke versi lainnya bagaikan berganti dari satu mobil ke mobil lainnya. Win95 ke Win98, jujur saya tidak tahu bedanya. Win98 ke WinXP, perubahan besar, tapi tidak ada yang mayor.
Namun berganti dari Windows ke Linux bagaikan perpindahan dari mobil ke sepeda-motor. Keduanya mungkin SO/kendaraan jalan. Keduanya mungkin memakai perangkat keras/jalanan yang sama. Mereka mungkin menyediakan lingkungan untuk menjalankan aplikasi/mengantar Anda dari A ke B. Tapi keduanya menggunakan pendekatan berbeda untuk melakukan itu.
Windows/mobil tidak aman dari virus/pencurian kecuali Anda memasang antivirus/mengunci pintunya. Linux/sepeda motor tidak mempunyai virus/pintu, sehingga sangat aman tanpa Anda harusmemasang antivirus/mengunci pintunya.
Atau lihat dari segi sebaliknya:
Linux/mobil diciptakan untuk banyak pengguna/penumpangWindows/sepeda motor didesain untuk satu pengguna/penunggang. Tiap-tiap pengguna Windows/penunggang sepeda motor terbiasa dengan kendali penuh untuk komputer/kendaraan yang dimilikinya. Seorang pengguna Linux/penumpang mobil terbiasa dengan kendali komputer/kendaraannya bila login sebagai root/duduk dibangku pengemudi.
Dua pendekatan berbeda untuk memenuhi tujuan yang sama. Mereka berbeda pada cara-cara fundamental. Mereka mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing. Sebuah mobil jelas pemenangnya untuk mentransportasi sebuah keluarga dan bawaan yang banyak dari A ke B; lebih banyak tempat duduk dan lebih banyak tempat penyimpanan. Sebuah sepeda motor jelas pemenangnya untuk membawa satu orang dari A ke B; tidak terlalu terpengaruhi oleh macet dan menggunakan lebih sedikit bahan bakar.
Banyak hal yang tidak berubah jika Anda beralih antara mobil dan motor; Anda tetap harus mengisi tangkinya dengan bahan bakar, Anda tetap harus mengemudikannya di jalan yang sama, Anda tetap harus mematuhi lampu lalu-lintas dan rambu-rambu, Anda tetap harus memberikan sinyal rehting sebelum berbelok, Anda tetap harus mematuhi batas kecepatan.
Namun ada juga hal yang berubah: pengemudi mobil tidak harus memakai helm, pengemudi sepeda motor tidak harus menggunakan sabuk pengaman; pengemudi mobil harus memutarkan setir untuk menikung pada tikungan, pengemudi sepeda motor hanya mesti memiringkan badan; pengemudi mobil berakselerasi dengan mendorong pedal kaki, pengemudi sepeda motor berakselerasi dengan memutar gas.
Seorang pengemudi sepeda motor yang mencoba membelokkan mobil dengan memiringkan badannya akan bertemu dengan banyak masalah sangat cepat. Dan pengguna Windows yang mencoba menggunakan keahlian dan kebiasaan mereka pada Linux akan juga menghadapi banyak masalah. Malahan, ahli Windows seringkali menumui lebih banyak masalah dibandingkan orang dengan pengalaman kecil dengan komputer, karena alasan ini juga. Biasanya, argumen bahwa "Linux tidak siap untuk penggunaan desktop" bersumber dari pengguna kesal Windows yang menegaskan jika mereka tidak bisa bermigrasi, seorang pengguna yang tidak berpengalaman tidak ada harapan. Tapi ini sangat berbanding terbalik dengan kenyataannya.
Jadi, untuk menghindar dari problema #2: jangan berasumsi bahwa menjadi pengguna berpengalaman Windows berarti menjadi pengguna berpengalaman Linux; jika Anda memulai menggunakan Linux, Anda tetap memulai sebagai amatir.
Problema #3: Menghadapi Budaya Baru
Sub-problema #3a: Memang ada budaya
Pengguna Windows kurang-lebih berhubungan pelanggan-suplayer: mereka bayar untuk perangkat lunak, untuk garansi, untuk bantuan, dan seterusnya. Mereka berharap perangkat lunak mereka memiliki tingkat kegunaan. Sehingga, mereka terbiasa dengan memiliki hak pada perangkat lunak mereka; mereka telah bayar untuk dukungan teknis dan mempunyai hak untuk menerimanya. Mereka juga terbiasa dengan berhadapan dengan entitas daripada dengan orang; hubungan mereka adalah dengan perusahaan, bukan dengan manusia.
Pengguna Linux adalah sebuah komunitas. Mereka tidak mesti membeli perangkat lunaknya, mereka tidak harus membayar untuk dukungan teknis. Mereka mengunduh perangkat lunak secara gratis dan menggunakan IM & forum web untuk mendapatkan bantuan. Mereka berurusan dengan manusia, bukan perusahaan.
Seorang pengguna Windows tidak akan menahan dirinya dengan membawa sikap kebiasaannya ke Linux, agar menerapkannya.
Sumber permasalahan terbesar seringkali dalam hal interaksi online: seorang pengguna "3a" yang baru pada Linux meminta bantuan dengan suatu masalah yang sedang dia alami. Ketika dia tidak mendapatkan bantuan itu yang dia anggap sedemikian cepat, dia mulai mengeluh, memaksa untuk bantuan lebih, karena dia terbiasa dengan apa yang dia lakukan dengan dukungan teknis berbayar. Masalahnya adalah bahwa Linux bukanlah dukungan teknis berbayar. Linux adalah sekumpulan relawan yang ikhlas untuk membantu orang dengan masalah-masalah mereka dari kebaikan hati masing-masing. Pengguna baru tidak mempunyai hak untuk memaksa apapun dari mereka, begitu juga seseorang pengumpul sumbangan tidak mempunyai hak untuk memaksa untuk sumbangan lebih dari kontributor.
Dalam hal yang serupa, seorang pengguna Windows terbiasa dengan menggunakan perangkat lunak komersil. Perusahaan tidak merilis perangkat lunak kecuali ia sudah dapat dipercaya, dapat berfungsi, dan cukup ramah untuk pengguna. Jadi ini apa yang seorang pengguna Windows seringkali mengharapkan dari perangkat lunak; perangkat lunak tersebut mulai dari versi 1.0. Perangkat lunak Linux, tapinya, seringkali dirilis hampir selalu setelah ia ditulis; ia mulai pada versi 0.1. Dengan ini, orang-orang yang sangat membutuhkan fungsionalitas mendapatkannya segera; pengembang perangkat lunak yang tertarik dapat bergabung dalam mengembangkan kodenya, dan komunitasnya secara keseluruhan tahu apa yang terjadi.
Jika seorang pengguna "3a" berhadapan dengan masalah dengan Linux, dia akan mengeluh. Perangkat lunak tersebut tidak sesuai dengan standar-standarnya, dan dia berpikir bahwa dia berhak untuk mendapatkan standar itu. Perasaan dia tidak akan membaik jika dia mendapatkan balasan sarkastik seperti "Seandainya aku itu kamu, 'ku bakalan minta ganti rugi"
Jadi untuk menghindar problema #3a: ingat Anda tidak ada membayar pengembang yang menulis kode perangkat lunak ataupun orang-orang yang memberikan dukungan teknis. Mereka tidak berutang apapun kepada Anda.
Subproblema #3b: Baru vs. Lama
Linux memulai kehidupan sebagai hobi seorang hacker. Ia tumbuh ketika ia menarik lebih banyak orang berhobi sebagai hacker. Memerlukan waktu agak lama sebelum seseorang selain kutu komputer mampu melakukan pemasangan Linux dengan enteng. Linux bermulai "dari ahli, untuk ahli". Bahkan sekarang, mayoritas pengguna Linux adalah kutu komputer sejati.
Dan itu adalah hal yang bagus. Ketika Anda mempunyai masalah dengan perangkat keras ataupun lunak, mempunyai populasi kutu komputer yang banyak untuk mencari solusinya adalah nilai plus.
Tapi Linux telah mendewasa sejak hari-hari pertamanya. Ada distro yang hampir semua orang dapat memasang, bahkan distro yang dapat mengindentifikasi semua perangkat keras Anda tanpa gangguan. Ia telah menarik perhatian dari orang awam biasa yang tertarik karena Linux bebas dari virus dan murah untuk diupgrade. Seringkali ada perseteruan dari dua regu ini. Penting untuk direnungkan bahwa tidak ada senjata ampuh dari kedua pihak manapun; hanyalah kekurang-pahaman saja yang menyebabkan masalah-masalahnya.
Pertama-tama, ada kutu komputer sejati yang tetap menganggap semua pengguna Linux adalah kutu komputer juga. Ini berarti tingkat pengetahuan yang tinggi, dan seringkali penyebab tuduhan kesombongan, stratifikasi dan kekasaran. Dan kadang-kadang sebenarnya itulah kenyataannya. Tapi seringkali tidak; yang elit-lah yang mengatakan "Semua orang seharusnya tahu ini", sedangkan yang non-elit-lah yang mengatakan "Semua orang tahu ini".
Kedua, ada pengguna baru yang mencoba beralih setelah bertahun-tahun bersama SO komersil. Pengguna baru ini terbiasa dengan perangkat lunak yang dapat digunakan oleh semua orang, tanpa pengetahuan dalam.
Masalah muncul karena grup 1 terdiri dari orang yang senang menghambur-hambur SO mereka dan merakitnya sesuka dia, sementara grup 2 seringkali tidak berpihak bagaimana sebuah SO berjalan, asalkan SO berjalan.
Sebuah situasi paralel yang dapat memperjelas masalah ini adalah Lego. Bayangkan yang berikut:
Baru: Aku mau mainan mobil yang baru, terus semua orang bilang gimana mainan mobil Lego itu asik. Jadi ku beli Lego. Tapi pas pulang, aku cuman dapet sekumpulan balok-balok kecil di kotaknya. Mana mobilku???
Lama: Kamu mesti rakit mobilnya dari balok-balok itu. Itu intinya Lego.
Baru: Apah??? Mana ku tahu cara bikin mobil. Aku bukan mekanik. Darimana aku bisa cari tau cara bikinnya???
Lama: Ada buku kecil didalam kotaknya. Situ ada perintah-perintah gimana menyusun balok-baloknya supaya jadi mobil-mobilan. Kamu gak perlu tau, cuman perlu baca perintahnya aja.
Baru: Udah ketemu bukunya nih. Bakalan berjam-jam ngerakitinnya! Kenapa gak jual sebagai mainan mobil aja, daripada maksa supaya merakitnya??
Lama: Soalnya gak semua orang pengen merakit Lego mobil. Bisa dirakit jadi apapun yang kamu mau. Itu inti semuanya.
Baru: Kenapa enggak dijual sebagai mobil aja? Jadi orang yang pengen mobil, dapat mobil; orang yang enggak bisa ngerakitin sendiri. Ni sudah ku rakit, tapi banyak balok-baloknya yang copot kadang-kadang. Gimana dong? Pakai lem, ya?
Lama: Namanya juga Lego. Memang mesti copot-copot. Itu intinya.
Baru: Tapi aku gak mau copot-copotan. Aku cuman mau mainan mobil!
Lama: Terus buat kamu beli Lego?!
Sangat jelas bagi semua orang bahwa Lego tidak ditujukan untuk orang-orang yang hanya mau mainan mobil. Anda tidak akan menemui percakapan seperti yang diatas pada kenyataannya. Inti dari Lego adalah Anda bersenang-senang merakitnya, dan dapat membangun apapun darinya. Jika Anda tidak tertarik dalam hal perakitan dan pembangunan, Lego bukan untuk Anda. Sudah sangat jelas.
Sejauh kesadaran penggunna lama Linux, hal yang sama juga terjadi untuk Linux; ia open-source, dengan sekumpulan perangkat lunak yang 100% dapat dimodifikasi. Itu intinya. Jika Anda tidak ingin meng-hack komponennya sedikit-sedikit, kenapa dipakai?
Tapi ada banyak usaha dewasa ini agar membuat Linux lebih bersahabat untuk para non-hacker, sebuah situasi yang tidak jauh beda dengan mainan Lego yang sudah dirakit, agar membuatnya lebih diinginkan oleh lebih banyak penonton. Sehingga Anda dapat menemui percakapan yang tidak jauh berbeda seperti yang datas; pendatang baru mengeluh keberadaan aplikasi yang dianggap pengguna berpengalaman fitur penintg, dan tidak ingin membaca sebuah buku panduan agar dapat menjalankan sesuatu. Tapi mengeluh karena banyaknya distro atau perangkat lunak mempunyai terlalu banyak opsi konfigurasi atau perangkat lunaknya tidak dapat bekerja dengan sempurna, bagaikan mengeluh bahwa Lego dapat dirakit menjadi terlalu banyak model, tidak menyukai bahwa dapat dihancurkan ke balok-balok dan dapat dibangun menjadi banyak hal lain.
Jadi, untuk mencegah subproblema #3b: ingat bahwa apa yang sepertinya Linux sekarang tidaklah apa yang Linux itu dulu. Mayoritas terbesar dan terpenting di komunitas Linux, para hacker dan pengembang perangkat lunak, menyukai Linux karena mereka dibolehkan untuk merakitnya semau mereka.
Problema #4: Didesain untuk Sang Desainer
Pada industri mobil, Anda akan sangat jarang untuk menemui seseorang yang sama-sama mendesain mesin dan interior mobil, karena hal tersebut memerlukan keterampilan jauh berbeda. Tidak ada orang yang ingin sebuah mesin yang hanya kelihatan laju, dan tidak ada orang yang ingin sebuah interior yang bekerja dengan sempurna, namun kelihatan jelek dan sempit. Dan, pada hal yang sama, pada industri perangkat lunak, antarmuka tidak dicipatakan oleh orang yang membuat perangkat lunaknya.
Di dunia Linux, tapinya, ini sering bukan kasusnya. Proyek sering memulai sebagai mainan satu orang. Dia melakukan semuanya dengan sendiri, sehingga antarmukanya tidak membutuhkan fitur sejenis "ramah untuk pengguna". Sang pengguna tahu semuanya yang perlu diketahui tentang perangkat lunaknya, dia tidak membutuhkan bantuan. Vi adalah sebuah contoh bagus dari sebuah perangkat lunak yang sengaja diciptakan untuk seorang pengguna yang tahu bagaimana cara menjalankannya; sangat sering terdengar cerita dimana seseorang harus mehidup-ulang komputer mereka karena mereka tidak tahu bagaimanna lagi keluar dari aplikasi vi.
Namun, ada perbedaan penting antara programmer FOSS (Free, Open-Source Software) dan kebanyakan perangkat lunak komersil: Perangkat lunak yang diciptakan oleh sang programmer FOSS adalah sebuah perangkat lunak yang dia ingin pakai. Jadi, sementara hasil akhirnya tidak se-"nyaman" untuk para pemula, mereka dapat tenang mengetahui bahwa perangkat lunak yang mereka gunakan didisain oleh seseorang yang tahu apa keperluan pengguna ujung; penciptanya juga pengguna ujung. Ini sangat berbeda dengan perangkat lunak yang didesain oleh penulis perangkat lunak komersil yang membangun perangkat lunak untuk dipakai orang lain; mereka bukanlah pengguna ujung yang pintar.
Jadi sementara vi mempunyai antarmuka yang sangat jelek untuk pengguna baru, ia masih digunakan sekarang karena ia memiliki antarmuka yang luarbiasa ketika Anda tahu bagaimana kerjanya. Firefox diciptakan oleh orang yang sering meramban Web. The GIMP dibangun oleh orang yang menggunakannya untuk memanipulasi berkas grafik. Dan seterusnya.
Jadi antarmuka Linux serignkali menjadi ladang ranjau untuk para pemula. Walaupun ketenarannya, vi seharusnya tidak dibolehkan untuk pengguna baru yang hanya ingin menggonta-ganti perubahan kecil pada sebuah file. Jika Anda menggunakan perangkat lunak yang masih muda di siklus kehidupannya, sebuah antarmuka yang cantik dan ramah adalah suatu hal yang akan Anda temui hanya pada daftar "ToDo"nya. Fungsionalitas adalah prioritas utama. Tidak ada yang mendesain antarmuka hebat lalu mencoba menambahkan fungsionalitas sedikit demi sedikit. Mereka menciptakan fungsionalitas, lalu memperbaiki antarmukanya sedikit demi sedikit.
Jadi, untuk menghindar isu-isu #4: Carilah perangkat lunak yang memang ditujukan untuk digunakan oleh pengguna baru, atau terimalah bahwa beberapa perangkat lunak mempunyai vektor penyesuaian yang lebih tajam daripada kebiasaan Anda. Mengeluh bahwa vi tidak cukup ramah untuk pengguna baru adalah bahan tertawaan karena luput dari topik.
Problema #5: Mitos "Ramah Pengguna"
Ini adalah istilah yang besar pada dunia komputerisasi. Bahkan telah menjadi nama sebuah komik berbasis web. Tapi ini istilah yang sesat.
Konsep dasarnya bagus: bahwa semua perangkat lunak didesain dengan keperluan pengguna yang tertuju. Namun konsep ini selalu diartikan sebagai konsep tunggal, padahal bukan.
Jika Anda sering memproses berkas teks, perangkat lunak ideal Anda akan cepat dan tangguh, membolehkan Anda melakukan jumlah pekerjaan yang sebanyak-banyaknya dengan usaha sesedikit-sedikitnya. Jalan-pintas keyboard dan operasi tanpa tetikus akan menjadi kepentingan.
Namun jika Anda sangat jarang mengedit berkas teks, dan Anda hanya ingin menulis surat kadang-kadang, hal yang terakhir yang Anda ingin mau adalah susah payah belajar seputar jalan pintas keyboard. Menu yang rapi dan icon jelas pada toolbar akan menjadi ideal Anda.
Jelas sekali bahwa perangkat lunak yang memenuhi kebutuhan pengguna pertama tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna kedua, begitu juga sebaliknya. Jadi, bagaimana sebuah perangkat lunak dapat dikatakan "ramah pengguna" jika kita semua punya kebutuhan berbeda?
Jawabannya: ramah pengguna adalah istilah yang tidak sesuai, dan suatu istilah yang membuat suatu situasi susah kelihatan sederhana.
Sebenarnya apa maksud dari "ramah pengguna"? Dalam konteks yang sering dipakai oleh istilah tersebut, perangkat "ramah pengguna" berarti "perangkat lunak yang dapat digunakan hingga kompetensi yang sesuai oleh seorang pengguna yang tidak mempunyai pengalaman pada perangkat lunak tersebut." Sayangnya, ini mempunyai efek menjadikan antarmuka yang payah-namun-familiar jatuh pada kategori "ramah pengguna".
Subproblema #5a: Familiar itu ramah
Pada kebanyakan penyunting teks dan pemroses kata yang "ramah pengguna", Anda meng-Cut dan Paste dengan Ctrl+X dan Ctrl+V. Sangat tidak intuitif, tapi semua orang terbiasa dengan kombinasi ini, jadi mereka anggap sebagai kombinasi yang "ramah".
Jadi ketika seseorang berhadapan dengan vi dan menemukan bahwa d itu untuk Cut dan p untuk Paste, dia menganggap itu tidak "ramah" karena semua orang tidak terbiasa dengan itu.
Apakah kunci tersebut lebih unggul? Sebenarnya, iya.
Dengan pendekatan Ctrl+X, bagaimana Anda meng-Cut sebuah kata dari dokumen yang sedang Anda buka? (Tanpa menggunakan tetikus!)
Dari awal katanya, Ctrl+Shift+Kanan untuk memblok katanya.
Lalu Ctrl+X untuk meng-Cut-nya.
Pendekatan vi? dw menghapus katanya
Bagaimana meng-Cut lima kata dengan pengaplikasian Ctrl+X?
Dari awal kata-katanya, 
Ctrl+Shift+Kanan
Ctrl+Shift+Kanan
Ctrl+Shift+Kanan
Ctrl+Shift+Kanan
Ctrl+Shift+Kanan
Ctrl+X
Dan dengan vi?
d5w
Pendekatan vi sangat lebih versatil dan sebenarnya lebih intuitif; "X" dan "V" bukanlah perintah "Cut" dan "Paste" yang jelas ataupun gampang diingat, sementara "dw" untuk menghapus sebuah kata dan "p" untuk meletakkannya kembali sangatlah mudah. Tapi "X" dan "V" sudah menjadi kebiasaan kita. Jadi, sementara vi sangat lebih unggul, ia tidak familiar. Oleh karena itu, ia dianggap tidak ramah pengguna. Secara universal, hanya familiaritas adalah yang membuat antarmuka yang mirip Windows kelihatan lebih ramah. Sebagaimana kita pelajari pada problema #1, Linux memang seharusnya berbeda dengan Windows. Karena itupun, Linux selalu kelihatan kurang "ramah pengguna" dibandingkan Windows.
Untuk menghindari masalah-masalah #5a, Anda dapat mengingatkan diri Anda bahwa "ramah pengguna" bukan berarti "Apa yang biasa buat saya". Cobalah melakukan tugas-tugas Anda biasa saja, dan jika tidak berhasil, cobalah berpikir sebagai pemula.
Subproblema #5b: Tidak efisien itu ramah
Ini adalah fakta yang menyedihkan, namun tidak dapat dihindari. Secara paradoksial, semakin sulit Anda membuat pengguna untuk mengakses suatu fungsionalitas aplikasi, maka aplikasi tersebut bisa malah menjadi lebih ramah.
Ini karena keramahan ditambahkan ke suatu antarmuka dengan menggunakan "petunjuk" sederhana – semakin banyak, semakin bagus. Lagipula, jika sesorang pemula komputer diletakkan didepan pemroses kata WYSIWYG dan ditanyakan untuk membuat sedikit teks menjadi tebal, yang menjadi kemungkinan lebih tinggi adalah:
> Dia akan menebak bahwa "Ctrl+B" adalah standar umum.
> Dia akan mencari petunjuk, dan mencoba meng-klik di menu "Edit". Tidak sukses, dia akan mencoba kemungkinan kedua pada barisan menu: "Format". Menu yang tampil ada opsi "Font", yang kelihatannya menjanjikan. Dan, eh, itu opsi Bold kita. Sukses!
Lain kali Anda melakukan pemrosesan, coba lakukan setiap kegiatan lewat menu; tidak ada kunci jalan-pintas, dan tidak ada ikon toolbar. Menu selalu, seterusnya. Anda akan sadar bahwa Anda akan bekerja lebih lamban, karena tiap kegiatan menuntut banyak ketikan/klik pada tetikus dan papan kunci
Membuat perangkat lunak "ramah pengguna" seperti ini bagaikan memasang roda latihan pada sepeda: ia membolehkan Anda berjalan secepatnya, tanpa memerlukan keterampilan ataupun pengalaman. Cocok untuk para pemula. Tapi tidak ada orang yang berpendapat bahwa semua sepeda dijual bersama dengan roda latihannya. Seandainya Anda membeli sepeda seperti itu sekarang, saya yakin hal pertama yang akan Anda lakukan adalah melepas roda-roda tersebut karena menjadi tambahan kurang penting. Sekali Anda bisa memakai sepeda, roda latihan tidak perlu lagi.
Dan dengan cara yang serupa, banyak perangkat lunak Linux didesain tanpa "roda latihan" – ia didesain untuk para pengguna yang sudah memiliki keterampilan dasar. Lagipula, tidak ada yang pemula permanen; ketidak-perhatian itu sebentar saja, dan pengetahuan itu selamanya. Jadi, perangkat lunak didesain dengan didasari hal yang diatas.
Ini mungkin kelihatan seperti sekedar alasan. Lagipula, MS Word mempunyai semua menu, dan tombol toolbar, dan kunci jalan-pintas... Terbaik pada semua bidang, 'kan? Ramah dan efisien.
Namun, ini mesti diperhatikan: pertama-tama, semua yang membuatnya praktis: mempunyai menu dan toolbar dan jalan-pintas dan semuanya akan berarti banyak sekali coding, dan kenyataannya tidak semua pengembang Linux dibayar untuk waktu mereka. Kedua, tidak sebegitu penting untuk para pengguna ahli; sedikit sekali programer menggunakan MS Word. Pernah bertemu dengan seorang koder yang menggunakan MS Word? Bandingkan dengan berapa koder yang menggunakan emacs dan vi.
Mengapa? Pertama-tama, karena beberapa aktifitas "ramah" mencoret aktifitas efisien. Lihat contoh "Cut & Copy" diatas. Dan kedua, karena kebanyakan fungsionalitas di sembunyikan di dalam menu yang Anda harus gunakan; hanya fungsioniltas yang paling sering digunakan mempunyai ikon toolbar di atas. Fungsi yang kurang digunakan yang masih penting untuk pengguna serius memakan terlalu banyak waktu untuk diakses. 
Sesuatu yang mesti diperhatikan, namunnya, adalah "roda latihan" seringakali berada sebagai "tambahan tidak wajib" untuk perangkat lunak Linux. Mereka mungkin tidak jelas, namun mereka seringkali ada.
Ambil mplayer. Ia dapat memutar berkas video dengan mengetik "mplayer [nama_file]" di dalam terminal. Anda dapat fastforward dan rewind dengan menggunakan tombol arah dan tombol PageUp dan PageDown. Ini tidah sepenuhnya "ramah pengguna". Namun, jika Anda mengetik "gmplayer [nama_file], Anda akan mendapatkan antarmuka grafis, dengan semua tombol-tombol cantiknya.
Kita ambil contoh lagi: meng-rip sebuah CD ke MP3 (atau Ogg). Menggunakan antarmuka perintah baris, Anda perlu menggunakan cdparanoia untuk mengambil berkas-berkas lagu ke harddisk lokal. Terus perlu juga sebuah encoder... ini repot, walaupun Anda tahu apa yang Anda lakukan. Jadi, unduh dan pasang sesuatu seperti Grip. Ini adalah antarmuka grafis dari cdparanoia dan encoder yang bekerja "dibalik terpal" yang mempermudah Anda mengambil berkas-berkas lagu dari CD, dan bahkan mendukung CDDB.
Hal yang sama juga untuk meng-rip DVD: jumlah opsi untuk dilewatkan agar dapat mentranskode agak suram. Tapi dengan menggunakan dvd::rip untuk berbicara agar dapat men-transcode untuk Anda membuat semuanya semakin sederhana, dengan proses berbasis antarmuka grafis yang dapat dilakukan oleh semua orang.
Jadi, untuk menghindari problema #5b: ingatlah bahwa "roda latihan" seringkali menjadi tambahan tidak wajib untuk Linux, daripada selalu berdampingan dengan produk utamanya. Dan kadangkala juga, "roda latihan" seringkali tidak bisa menjadi bagian dari desainnya.
Problema #6: Imitasi vs. Pengiringan Zaman
Sebuah argumen yang diomongkan oleh orang ketika mereka mengetahui bahwa Linux bukanlah si klon Windows yang mereka harapkan adalah untuk menegaskan bahwa Linux berusaha (atau seharusnya) untuk mengimitasi Windows, dan orang-orang tersebut yang tidak menyadari akan hal ini dan akhirnya membantu Linux untuk lebih mirip Windows sebenarnya bersalah.
Mereka memiliki banyak argumen pendukung untuk keyakinan mereka:
Linux memulai dari antarmuka perintah baris hingga grafis, sebuah usaha jelas untuk mengikuti Windows.
Teori yang bagus, namun salah: sistem penjedelaan X dirilis pada tahun 1984, sebagai lanjutkan sistem penjendelaan W yang ditulis-ulang untuk Unix pada tahun 1983. Windows 1.0 dirilis pada tahun 1985. Windows tidak terlalu heboh hingga versi 3, dirilis tahun 1990 – sementara jendela X telah ada selama bertahun-tahun pada tahap X11 yang kita gunakan sekarang. Linux juga dimulai pada tahun 1991. Jadi Linux tidak mencipatakan sebuah antarmuka grafis untuk mengikut-ikuti Windows; ia hanya menggunakan sebuah antarmuka grafis yang telah ada jauh lebih lama daripada Windows.
Windows 3 akhirnya menjadi Windows 95 – membuat perubahan ekstrim pada antarmuka grafisnya yang pernah Microsoft lakukan. Ia memiliki banyak fitur baru dan inovatif; fungsi drag-and-droptaskbar, dan seterusnya. Semuanya telah diikut-ikuti oleh Linux, tentunya.
Sebenarnya... tidak juga. Semua yang tadi telah disebutkan telah diciptakan sebelum Microsoft menggunakannya. Antarmuka NeXTSTeP adalah sebuah antarmuka grafis yang SANGAT canggih (pada zaman itu), dan ia dilahirkan jauh sebelum Win95 – versi 1 dirilis tahun 1989 dan versi final pada 1995.
Ya udah, ya udah, jadi Microsoft tidak mengkonsepsi semua fiturnya satu per satu yang kita kenal sebagai tampilan Windows. Tapi ia teteap mengkonsepsi sebuah tampilan, dan Linux berusaha mengikuti tampilan itu sejak dulu.
Untuk menyalahkan argumen ini, seseorang harus membahas konsep dari evolusi adaptasi. Ini adalah dimana dua sistem beberbeda berevolusi hingga menjadi sangat mirip. Hal ini sangat sering terjadi pada ilmu biologi. Misalnya hiu dan lumba-lumba. Keduanya adalah organisme pemakan ikan dengan ukuran yang kurang-lebih sama. Keduanya punya sirip punggung, sirip tangan, sirip ekor dan bentuk tubuh yang hidrodinamis.
Tapinya hiu berevolusi dari ikan, sementara lumba-lumba berevolusi dari sejenis mamalia darat berkaki empat. Alasan mengapa keduanya memiliki rupa yang rata-rata sama adalah keduanya berevolusi agar menjadi se-efisien mungkin dengan kehidupan di lingkungan lautan. Tidak pernah si nenek moyang lumba-lumba (si pendatang baru) melihat hiu dan berpikir "Wah, liatin 'tu sirip! Kayaknya asik banget. Ku coba bikin, ah!"
Dengan pemikiran yang serupa, sangatlah benar melihat desktop Linux dulu dan melihat FVWM dan TWM dan banyak antarmuka yang maha-sederhana. Lalu melihat desktop Linux modern dan melihat GNOME dan KDE dengan taskbar dan menu dan permen mata lainnya. Dan, iya, mereka memang lebih mirip Windows daripada dulunya.
Tapi, Windows juga begitu. Windows 3.0 tidak memiliki taskbar, seingat saya. Dan menu Start? Apaan?
Linux tidak memiliki desktop semodern Windows. Microsoft juga tidak. Sekarang keduanya punya. Apa yang dapat kita pelajari dari ini?
Ini menginformasikan kita bahwa pengembang perangkat lunak pada kedua regu mencari cara untuk memperbaiki antarmuka grafisnya, dan karena hanya beberapa solusi untuk masalahya, mereka sering menggunakan metode yang sangat mirip. Kemiripan tidak sama sekali membuktikan atau menegaskan imitasi. Mengingat itu akan mencegah Anda sesat pada daerah problema #6.
Problema #7: FOSS...
Yah, ini membuat masalah. Tidak secara intrinsik; perangkat lunak yang gratis dan opensource adalah bagian yang bagus dan sangat penting untuk FOSS. Tapi memahami bagaimana FOSS berbeda dengan perangkat lunak ber-hak-milik adalah suatu perubahan yang terlalu besar untuk beberapa orang.
Saya sudah mengutip beberapa contoh untuk ini: orang-orang berpikiran bahwa mereka bisa memaksa dukungan teknis dan lainnya. Tapi sebenarnya, ini lebih dari sekedar itu.
Pernyataan Misi Microsoft adalah "Sebuah Komputer pada tiap Meja" – dengan petunjuk kecil bahwa tiap komputer harus berisi WIndows. Microsoft dan Apple sama-sama menjual sistem operasi, dan keduanya melakukan segala usahanya untuk memastikan bahwa produk mereka digunakan oleh paling banyak pengguna; mereka bisnis, diluar sana mencari uag.
Lalu, ada FOSS. Yang, bahkan hari ini, hampir keseluruhan bersifat non-komersil.
Sebelum Anda menulis email untuk memberitahu saya tentang Red Hat, Suse, Linspire dan segalanya, iya, saya tahu mereka "menjual" Linux. Saya tahu mereka suka jika Linux diaplikasikan secara universal, apalagi dengan perisa mereka sendiri. Tapi jangan dibingungkan antara para suplayer dan pabrik pembuat. Kernel Linux tidak diciptakan oleh sebuah perusahaan, dan tidak dirawat oleh sekumpulan pekerja yang melakukannya untuk mencari keuntungan. Alat-alat GNU tidak diciptakan oleh sebuah perusahaan, dan tidak dirawat oleh sekumpulan pekerja yang melakukannya untuk mencari keuntungan. Sistem penjendelaan X11... yah, implementasi paling terkenal sekarang adalah xorg, dan bargian "org" seharusnya memberitahu semuanya yang perlu diketahui. Perangkat lunak desktop, mungkin Anda bisa menuntut bahwa KDE itu komersil, karena berbasis Qt. Tapi GNOME, Fluxbox, Enlightenment, dll. semuanya tidak bermodal uang. Memang ada orang diluar sana yang menjual Linux, tapi mereka adalah sang minoritas.
Jumlah pengguna perangkat lunak ber-hak-milik mengarahkan keuntungan finansial kepada sang perusahaan yang membuatnya, secara langsung. Ini bukanlah kasus untuk FOSS; tidak ada keuntungan langsung kepada pengembang FOSS manapun jika jumlah pengguna bertambah. Keuntungan tidak langsung, iya: kebanggaan tersendiri; potensi menemukan bug yang lebih besar; bertambahnya kemungkinan menarik perhatian lebih banyak pengembang perangkat lunak; bahkan kemungkinan penawaran pekerjaan yang lumayan; dan seterusnya.
Tapi Linus Torvalds tidak mendapat bayaran dari meningkatnya pengguna Linux. Richard Stallman tidak mendapat bayaran dari menginkatnya penggunna GNU. Semua server yang berjalan diatas OpenBSD dan OpenSSH tidak membayar apapun ke tabungan Proyek OpenBSD. Dan kita akhirnya ke problema paling besar menyangkut pengguna baru dan Linux:
Mereka mengetahui bahwa mereka tidak diinginkan.
Pengguna baru berpindah ke Linux setelah bertahun-tahun bersama SO dimana kebutuhan pengguna adalah suatu kepetingan, dan "ramah pengguna" dan "fokus pelanggan" adalah sasaran tepat. Dan tiba-tiba mereka menemukan diri mereka menggunakan sebuah SO yang masih bergantung pada berkas "man", perintah baris, berkas configurasi yang ditulis tangan dan Google. Dan ketika mereka mengeluh, mereka tidak dimanjakan atau ditunjukkan sesuatu yang lebih baik, mereka malah disuruh pergi saja.
Itu melebih-lebihkan, tentunya. Tapi itu memang apa yang dirasakan oleh muallaf Linux ketika mereka mencoba dan gagal ketika pindah aliran.
FOSS mempunyai banyak kesejajaran dengan Internet: Anda tidak membayar sang penulis laman web/perangkat lunak untuk mengunduh dan membaca/memasangnyaBroadband pribadi/antarmuka ramah pengguna tidak menarik kepada seseorang yang sudah punya broadband/tahu cara menggunakan perangkat lunak tersebut. Para blogger/pengembang tidak membutuhkan banyakpembaca/pengguna untuk memperjelas blogging/koding. Banyak orang yang memang dapat uang dari itu, tapi bukan karena falfasah tua "aku si pemiliknya, dan engkau harus bayar aku kalau mau memakainya" yang sering digunakan perusahaan; malahan karena menyediakan layanan e-commerce/dukungan teknis.
Linux tidak tertarik pada kekuasaan pasar. Linux tidak mempunyai pelanggan. Linux tidak mempunyai pemegang saham, atau bahkan sebuah tanggung jawab. Linux tidak diciptakan untuk menghasilkan uang. Linux tidak memiliki misi untuk menjadi SO yang paling terkenal dan terkemuka di Bumi.
Komunitas Linux hanya ingin membuat sebuah SO yang sangat bagus, sangat lengkap dan sangat bebas. Jika itu mengakibatkan Linux menjadi SO yang sangat populer, itu bagus. Jika itu mengakibatkan Linux memiliki antarmuka paling ramah dan intuitif, itu bagus. Jika itu mengakibatkan Linux menjadi dasar dari sebuah industri mega, itu bagus.
Bagus, tapi bukan intinya. Intinya adalah agar membuat Linux SO terbaik yang mampu diciptakan oleh sang komunitas. Bukang untuk orang lain; untuk dirinya. Ancaman biasa seperti "Linux tidak akan pernah menguasai desktop kecuali ia melakukan ini, itu" tidaklah relevan. Komunitas Linux tidak berusaha menguasai desktop. Mereka tidak terlalu peduli jika Linux cukup bagus sehingga dapat mendarat di desktop Anda, selama ia cukup bagus untuk desktop orang lain. Para pembenci MS, fanatik Linux obsesif dan penolak FOSS berpenghasilan mungkin nyaring, namun mereka tetap minoritas.
Itulah apa yang komunitas Linux inginkan: sebuah SO yang dapat dipasang oleh siapa saja yang menginginkannya. Jadi, jika Anda berkonsiderasi beralih ke Linux, pertama-tama tanyakan diri Anda apa yang Anda hendaki.
Jika Anda menginginkan sebuah SO yang tidak merepotkan Anda, tapi memberikan Anda kuncinya, meletakkan Anda di kursi pengemudi dan mengharapkan Anda tau yang mesti dilakukan, pakailah Linux. Anda mungkin perlu waktu untuk belajar menggunakannya, tapi setelah Anda tahu seluk-beluk, lekuk-likuknya, Anda akan memiliki sebuah SO yang akan berdiri dan menari untuk Anda.
Ini bukan masalah, "mengapa saya ingin Linux?", tapi lebih ke "mengapa Linux ingin saya?".
Pascakata: artikel diatas diambil dari Dominic Humphries dan copyright 24 Juni 2006. Beberapa bagian telah diubah, disunting dan dihapus untuk kesesuaian bahasa, daerah dan pengiringan perkembangan Linux. Sumber: linux.oneandoneis2.org.
Boleh didistribusikan sesuai syarat dan ketentuan linsensi CC.

16 Jun 2011

Linux Jatirogo


Linux Jatirogo (Linux Mint Remix)
Jatirogo Must Go Open Source

Lama tidak posting, mungkin karena sibuk belajar remastering linux. Beberapa kali memang aku mengalami kegagalan dalam proses remastering ini, namun karena semangat untuk belajar modif FOSS (Free Open Source Software) khususnya linux, hari ini berhasil juga.
Minggu-minggu ini aku habiskan untuk belajar meremaster distro linux turunan ubuntu yakni linux mint 10 Julia. Tujuanku tidak lain adalah keinginanku untuk memperkenalkan linux dengan tampilan yang lebih fresh dibanting eh maksudnya dibanding OS closed source semisal windows kepada teman-temanku yang masih menggunkan software bajakan, khususnya di daerah Jatirogo, Tuban selain itu aku juga ingin memberikan kenang-kenangan kepada guru Itku yang dulu pernah memberiku tugas membuat poster anti pembajakan, sehingga sejak saat itu aku mulai tahu tentang dunia Open Source. Memang bagi para master linux remasteran ini tidaklah cukup menarik bahkan boleh dikatakan hanya sekedar ganti baju (memang pada dasarnya iya), namun menurutku ini cukup untuk membuat beberapa mikocok user tertarik dan berpaling. Hal tersebut terbukti, setelah Linux Jatirogo ini berhasil dibuat, banyak dari temanku yang sudah tertarik untuk mencoba, bahkan ada yang mau langsung install tanpa dual boot. (Kebanyakan dari mereka suka dengan wajahnya, tapi tak masalah yang penting mau belajar)
Mimipiku tak berakhir hanya meremaster distro yang ada, aku masih punya mimpi untuk membuat gerakan bernama JoTOS (Jatirogo Tuban go Open Source) mungkin gerakan ini suatu hari nanti akan dapat membantu memperlancar gerakan IGOS. Aku yakin itu bukan cuma mimpi, suatu hari nanti aku akan mewujudkannya dengan distro yang kental dengan Jatirogo.




Sedikit review untuk Linux Jatirogo, linux ini seperti yang aku katakan tadi masih kental dengan Linux Mint 10, selain aku masih dalam tahap belajar aku juga berharap ada temanku yang mau ikut belajar memperbaiki ini. Beberapa fitur yang aku tambahkan pada “Mint 10 Remix” ini antara lain :  
  1. apt-fast, apt-fast ini menggantikan tugas apt-get sehingga dalam proses instalasi/update yang dilakukan melalui repo/ppa bisa berlangsung lebih cepat dibanding menggunakan apt-get karena dibantu dengan axel.
  2. Wine, aplikasi ini tentunya sudah banyak dikenal oleh para user linux, namun bagi “mikocok user”? Aplikasi ini bertujuan untuk membantu para new linux user user untuk beradaptasi di lingkungan linux. Aplikasi ini berfungsi sebagai emulator program yang berjalan di lingkungan windows.  
  3. LibreoOffice, aplikasi ini pengganti OpenOffice yang sebelumnya memang sudah ada pada Linux Mint 10, dan sebagai pengganti Microsoft Office pada windows.
  4. Tampilan yang menurutku sedikit lebih fresh, dilengkapi dengan screenlets, Cairo-dock, AWN, conky, Tint2, dan efek compiz yang memang sudah ada pada Linux Mint dan semua distro linux, dengan tujuan untuk memudahkan para new user beradaptasi.   
      Tidak ada yang sulit, selama kamu mengikuti jalannya waktu. Aku yakin tidak akan menyesal jika kalian bermigrasi ke FOSS, selain didukung dengan komunitas yang selalu siap membantu, juga akan memacu kreatifitas. Namun aku sangat berharap tidak ada orang Jatirogo yang tidak mengenal FOSS, apa lagi Linux.
    Link download Linux Jatirogo Sudah tersedia, silahkan download file berikut yang didalamnya terdapat link dan beberapa penjelasan mengenai file Linux Jatirogo download . Disini aku sebagai anak Jatirogo hanya menganjurkan, untuk lebih jelasnya silahkan coba beralih ke FOSS. Saran akan saya nanti di facebook saya. 
    Nb : Mirror Linux Jatirogo Sudah Tersedia
    http://baliexoticcoffee.com/li​nux_jatirogo/ 
    http://ftp.itb.ac.id/pub/ISO-I​MAGES/linux/
     

    8 Jun 2011


    Inikah Akhirnya?
    BUKAN!!

    Semua telah siap untuk tujuan berikutnya, begitupun aku. Semua juga beripa untuk memulai lembaran baru di tempat yang mungkin baru pula, aku tak tahu harus menulis apa lagi, aku juga tak tahu pakah esok aku masih bisa menulis? Kau tahu besok adalah hari yang cukup membuatku termenung sore kemarin. Besok adalah upacara pelepasan siswa di SMP Negeri 1 Jatirogo. Aku tak agak tak percaya ini berkahir juga. Begitu cepat, namun cukup membuat aku mengalami perubahan.
    Aku tahu untuk hari besoklah aku dan kawan-kawanku bertemu beberapa tahun yang lalu. Semua yang pernah aku lalui mengalun dalam ingatanku. Saat aku masih mengenakan celana serba tinggi, rambut klimis, menjadi seorang yang penakut, bahkan tak berai berbicara, semua itu terjadi di sini, dan jangan lupakan saat aku memiliki seorang yang aku anggap kekasihku.
    Sampai hari ini mungkin aku tetap tak memiliki keberanian untuk mengucapkan dua kata untuk orang-orang yang telah membimbingku, Pak Dadija, Bu Endah, Pak Samiun, Pak Agus, Bu Lis, Pak Darju, Pak Jaka, Pak Slamet, Pak Sutiyono, Bu Shanti, Bu Chamami, Pak Parman, Bu Titik, Pak Wahyudi, Pak Mukti, Pak Yusuf dan semua guru yang ada di SMP-ku ini, aku ingin mengucapkan “maaf & terima kasih”. Aku tahu mungkin dari sekian guru tidak ada yang mengunjungi blog ini, jadi aku sangat menghaparap ada yang mau menyampaikan salam sapaku ini.
    Semua telah aku lewati bersama kawan-kawanku, kelakuan bodoh, curang, konyol, bahkan beberapa tindakan yang menurutku baikpun juga pernah. Aku tak tahu lagi harus menulis apa.
    Aku teringat teman sebangkuku Qoirul, Nando, teman adu pendapatku Rina, teman yang selalu aku jadikan bahan tertwaan bersama Fran dan Nanda Gepeng, Bima (maaf ya), teman yang kadang membuatku bosan Anindia dan Alin, teman yang membuat kegaduhan karena tindakan bodoh dan alis langkanya, Iyon dan Erik, teman yang pernah . . . . . Nia, Krisna dengan wajag yang selalu ceria dan semua teman yang bersamaku selama ini. Hey, aku hampir melupakan seseorang, temanku yang bermimipi menjadi seorang penulis novel Ega. Aku yakin dan berharap suatu saat aku akan mendapt kiriman tulisan dari seseorang yang aku anggap juga sebagai guruku ini.
    Kalian semua hebat, aku senang pernah mengenal kalian, mungkin tulisan ini tak berarti apa-apa, tapi aku harap semua dari kita bisa selalu ingat apa yang pernah diajarkan “bapak” kita. Sudahlah, aku aku tak perlu berkata apa-apa lagi karena aku yakin kalian semua bisa. Semua bintang ada di depan kita, menuggu tangan untuk meraihnya.

    Terima kasih semuanya.

    5 Jun 2011

    Tawa


    Baru kali ini aku menulis kumpulan kalimat di pagi hari, dingin memang namun siapa peduli. Aku tahu ide tidak bisa diatur kapan datangnya, namun gairahku untuk menulis muncul kembali. Mungkin aku tidak pernah bercerita mengapa aku menulis, mungkin bahkan bukan mungkin lagi memang aku tidak “sepandai” orang-orang di sekitarku, dan yang aku bisa hanya menulis dan ngoprek software di laptopku.
    Jika mungkin ada yang mengira aku adalah anak yang pandai dalam hal pelajaran, setidaknya itu pendapat beberapa orang yang baru mengenalku. Aku tidak menyalahkan orang yang menyebutku demikian, namun sejujurnya aku lebih cocok bila dikatakan sebagai siswa yang cukup bodoh soal pelajaran. Aku tak menyesal, aku juga tidak khawatir apa lagi susah jika jika dikatakan demikian. Kau tahu, memang itu ulahku, jika aku menyesali perbuatan yang aku sadari maka aku adalah orang yang sangat bodoh.
    Setiap hari aku memang bersemangat untuk pergi ke sekolah, bahkan aku selalu berangkat lebih pagi dari yang lain, aku menikmati apa yang aku lakukan. Kalian tahukan, cara orang menikmati esuatu pasti berbeda. Ya, ak menikmati tiap jam-jam pelajaran di sekolah dengan berdiskusi sendiri dengan temanku, bahkan tak jarang aku terlelap ketika pelajaran fisika terlebih bahasa inggris. Aku juga menikmati waktu-waktu lain yang aku punya baik di sekolah, warnet sampai di rumah sekalipun. Apa iku membuatku bodoh, jika yang kalian maksud dengan bodoh adalah nilai yang buruk maka jawabanku “ya”. Namun tetap saja aku tidak mempermasalahkan itu, dan aku bersyukur orang tua juga demikian, mereka selalu percaya padaku jadi aku tentu tidak akan pernah berniat mengecewakan mereka. Aku selalu ingat dan sadar, jika aku ngotot ingin menyaingi teman-temanku dalam hal pelajaran dengan istilah menjadi anak pintar, aku tak akan sanggup jadi aku lebih memilih melakukan hal-hal yang menurutku memang aku sukai. Aku ingat kalimat yang pernah diucapkan Ranchoo Ranchodas Cancha dalam film 3 Idiot, “Lakukan apa yang menggairahkan bagimu, maka kesuksesan akan mengejarmu”. Aku selalu tertawa dalam hati jika melihat temanku bangga hingga berlebihan saat mendapat nilai yang tinggi, padahal yah, aku tahu itu bukan nilai murninya.
    Beberapa waktu yang lalu aku cukup tertegun dengan seorang penari jalanan. Aku melihat secara garis besar ia memiliki dua raut wajah, senang saat melihat orang datang dari dalam rumah dengan tangan menggenggam dan tertawa kecil dengan campuran kecewa saat melihat orang keluar rumah dengan ucapan bernada sedikit meninggi dan tidak menggenggam apapun. Aku ssempat mengikuti perjalanan wanita penari itu, meskipun tidak sejauh perjalanan yang pernah ia lewati. Aku merasa senang melihatnya, melihat ia menikmati hidup dengan suara gamelan yang terekam di radio boxnya, menikmati hidup dengan lambaian tangan gemulai saat mengikuti irama lagu yang diputar. Aku tertawa senang dalam hati, saat melihatnya menghitung recehan uang yang didapatnya. Aku mungkin bisa menebak, jika melihat dari ekspresinya uang yang dikumpulkan sejak pagi tadi mungkin masih dirasa kurang, sehingga ia beranjak dan pergi dengan semangat barunya. Saat aku melihat ini, aku jadi teringat betapa pintarnya orang-orang yang melakukan korupsi. Aku sangat yakin jika mereka adalah orang buta dan tuli, dan tidak pernah keluar rumah. Orang picik.
    Kemarin adalah pengumuman hasil kebohongan ratusan siswa SMP, beberapa bisa jadi tidak berbohong namun aku yakin jika melihat suasana hampir keseluruhan melakukan kebohongan saat melakukan ujian nasional. Aku tidak merasa gugup hari ini seperti yang teman-temanku ungkapkan di akun facebok mereka. Aku ingat ini berawal dengan kebohongan, jadi artinya pengumuman ini adalah salah satu kepura-puraan. Beberapa orang hari itu memberiku selamat karena aku mendapatkan nilia yang cukup fantastis, namun kemabali lagi aku tertawa, dan dalam hatiku bertanya, “apa mereka bodoh, bukankah mereka tahu jika ini bukan hasil murni? Mengapa mereka menyelamatiku? Apa mereka menghinaku? Tidak. Mereka hanya lupa bagaimana ini berawal”. Yah, mungkin itulah orang Indonesia saat ini, hidup dalam kepura-puraan. Beberapa pura-pura senang mendapatkan sesuatu, aku selalu berharap masih ada kejujuran dalam diriku, dalam dirimu dan dalam diri kita.

    Powered By Blogger

    Share

    Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More